JAKARTA, Beritalima.com– Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan yang tengah dibahas Panitia Kerja (Panja) Komisi II DPR RI perlu ditunda dan didalami.
Pasalnya, masih banyak persoalan krusial yang belum tuntas dibahas. Selain itu juga banyak pihak terkait yang belum diundang untuk dimintai masukan pemikirannya sehingga pembahasan RUU Pertanahan yang sangat penting itu tidak boleh tergesa-gesa.
Itu terungkap dalam Forum Ligislasi dengan tema ‘RUU Pertanahan: Menyejahterakan atau Sengsarakan Rakyat?’ di Press Room Gedung Nusantara III Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (16/7).
Tampil sebagai pembicara dalam Forum Legislasi itu Viva Yoga Mauladi (Ketua Komisi IV DPR RI), Hendri Yosodiningrat (Anggota Pansus RUU Pertanahan DPR RI) dan Purwadi Soeprihanto, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI).
Viva menegaskan, RUU Pertanahan memang tidak perlu disahkan pada periode DPR saat ini karena sejumlah pasal masih menimbulkan persoalan, sebab diantara pemerintah saja masih konflik.
Sejumlah institusi terkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian ESDM, Kementerian PUPR dan pihak-pihak yang secara langsung terimbas UU ini belum diminta masukan. Demikian pula dengan Kadin, APHI dan masyarakat sipil.
“Jadi yang paling ideal memang ditunda pengesahannya. Pembahasan boleh saja diteruskan sambil meminta masukan lebih mendalam dari pihak terkait. Jika tidak dan DPR mengesahkan sementara masih polemik, publik akan mempertanyakan, ada apa ini?” tutur politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
Dingatkan, potensi konflik akan jauh lebih besar jika RUU ini dipaksakan disahkan periode ini. mengingat saat ini saja masih ratusan konflik agraria baik antara masyarakat dengan negara, pengusaha dengan masyarakat, pengusaha dengan negara, dan konflik yang melibatkan berbagai institusi karena aturan dan UU yang tumpang tindih.
Henry sependapat dengan pandangan Viva. Tidak ada urgensi untuk mensegerakan pengesahan RUU Pertanahan, apalagi kini terbukti bahwa masih banyak pihak yang benar-benar terkait belum memberikan masukannya, padahal itu dibutuhkan untuk penguatan UU.
“Kalau harus disahkan, saya rasanya sedih karena saya tahu persis di dalamnya masih jauh dari apa yang kita harapkan, dari RUU Pertanahan yang kita harapkan,” kata Henry.
Henry mengaku, banyak hal yang memang perlu didalami. Masih banyak poin krusial dalam RUU Pertanahan yang belum dibahas secara matang, terutama soal keberpihakan terhadap masyarakat. “Kita harus berpihak kepada rakyat,” kata dia.
Dengan berbagai dinamika yang terjadi, Henry berharap pengesahan RUU Pertanahan tidak dilakukan dalam waktu dekat. Tidak masalah jika pembahasan harus dilanjutkan pada periode selanjutnya.
Purwadi Soeprihanto malah merasa lega karena anggota DPR sudah menyatakan setuju RUU Pertanahan ini ditunda dan dibahas lagi secara mendalam, sambil meminta masukan langsung pihak terkait yang selama ini diabaikan Panja RUU Pertanahan
“Kita perlu memahami relasi antara pertanahan dan kawasan. Jika, bicara pertanahan sudah jelas. Tapi ketika bicara soal kawasan, perspektif yang muncul adalah hutan sebagai ekosistem,” kata dia.
Jika merujuk kepad draft RUU Pertanahan ini terutama pasal 1 hingga pasal 62, kata Purwadi, itu bicara bingkainya adalah pengelolaan dalam konteks pertanahan. Kemudian muncul di pasal 63 dan seterusnya muncul kawasan. “Ini menimbulkan pertanyaan,” papar dia.
Jadi, kata Purwadi kesumiran itu harus dijelaskan secara detil mengingat sejak awal tidak ada penjelasan, baik dalam pengantar maupun dalam batang tubuh, kemudian di dalam pasal 63 dan seterusnya muncul kategori kawasan.
Jadi, DPR dan Pemerintah harus bijak dalam membahas RUU Pertanahan ini jangan sampai membuat UU yang justru berpotensi menimbulkan gejolak, termasuk di kalangan pengusaha hutan yang kini khawatirdengan RUU Pertanahan tersebut. (akhir)