JAKARTA, Beritalima.com– Wacana amandemen kelima Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 kembali mencuat dalam beberapa waktu belakang. Isi dalam rencana perubahan itu memunculkan kembali Pokok-Pokok Haluan Negara dan penataan kewenangan lembaga negara.
Dan, isu ini menjadi topik hangat, menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat karena asumsi, perubahan terhadap konstitusi berpeluang ‘disusupi’ klausul mengenai penambahan masa jabatan presiden dari organisasi Jokowi-Prabowo untuk kepemimpinan saat ini bisa dilanjutkan kembali.
Menanggapi ini, Wakil Ketua DPD RI, Sultan Bachtiar Najamudin melalui keterangan resminya Kamis (24/6) menyatakan, amandemen kelima UUD 1945 adalah keniscayaan yang mesti dilakukan. Bahkan lebih jauh, mantan aktifis KNPI ini menjabarkan jalan yang mesti ditempuh dalam membangun demokrasi Indonesia.
“UUD suatu negara bersifat dinamis, mengikuti gerak masyarakat, malah diharapkan dapat menjadi guiding star, memandu kehidupan masyarakat meraih cita-cita bersama. Karena itu pembentuk UUD dan perubahannya harus mampu menangkap zaman, sekaligus berfikir visioner.” kata dia.
Lalu, ungkap Sultan, poin usulan amandemen kelima harus berorientasi dalam kehidupan kenegaraan kita bersama, dan tak boleh terjebak dalam kepentingan kelompok atau golongan tertentu.
Mengenai gagasan besar dalam wacana amandemen kelima UUD 1945, kata Sultan, harus dijadikan pintu masuk koreksi dan evaluasi terhadap tujuan agenda reformasi yang telah berjalan kurun waktu 23 tahun.
“Demokrasi adalah hadiah terbesar bagi rakyat Indonesia yang diberikan amanat Reformasi. Dan, itu telah membawa perubahan cara kehidupan bernegara kita semua, yaitu dengan menjadikan demokrasi sebagai tatanan nilai dalam suasana kehidupan kebangsaan. Dan, pemilihan langsung adalah bentuk nyata pemenuhan kedaulatan rakyat,” kata dia.
Hanya saja, lanjut senator muda ini, timbul pertanyaan mendasar apakah cita-cita reformasi itu telah tercapai melalui skema demokrasi yang kita jalankan saat ini.
Pada awalnya, dengan hadirnya mekanisme pemilihan presiden secara langsung dapat diharapkan mendorong demokrasi di Indonesia menuju fitrahnya, kekuasaan berada ditangan rakyat.
Hanya saja, lanjut Sultan, berkaca pengalaman pemilihan kepemimpinan nasional kebelakang ini, ternyata tidak serta merta mewujudkan harapan dari demokrasi itu. Dua puluh tahun terakhir, ritual demokrasi kita telah dilakukan secara berkala.
“Dan, pemilihan langsung baik di eksekutif maupun legislatif ternyata menelan biaya yang sangat besar dalam memastikan serta menyalurkan legitimasi rakyat dan justru itu tak sebanding dengan hasil pembangunan yang diharapkan,” kata Sultan.
“Ratusan triliun yang digunakan dalam membiayai proses demokrasi kita sangat mahal. Seandainya sistem pemilihan dikembalikan kepada MPR RI, tentu akan lebih membuat efisiensi keuangan negara. Sebab ongkos pemilu dapat digunakan sebagai modal pemerataan pembangunan di daerah.”
Masalah lain dalam proses pemilihan langsung selama ini, rakyat hanya diberi kesan menjadi penentu dalam rekrutmen kepemimpinan nasional, padahal rakyat hanya memilih calon yang disodorkan partai politik atau elit politik secara perseorangan.
Setelah pemilihan umum berlalu ‘permainan politik’ dikembalikan kepada para ‘aktor politik’, bukan kepada rakyat. Karena itu, menjadikan kembali presiden sebagai mandataris MPR RI dirasakan lebih memenuhi unsur dari sebuah esensi demokrasi.
Sultan berpandangan, pemilihan langsung presiden dan wakil presiden rentan terhadap terjadinya polarisasi di masyarakat. Contoh pengalaman Pilkada DKI Jakarta 2017, masyarakat terbelah dan sangat berpotensi terhadap timbulnya konflik horisontal. Dan, hal itu berlanjut hingga saat pelaksanaan Pemilihan Presiden 2019.
“Dampak polarisasi masyarakat menganggu agenda pembangunan, dimana energi bangsa terkuras habis, bahkan Presiden terpilih harus melakukan rekonsiliasi agar penyatuan masyarakat dapat kembali terjadi. Dan, itu memakan waktu lama dengan sumberdaya yang besar”, tanggap Sultan.
Jadi, menurut dia, masih banyak persoalan dalam landasan konstitusi kita yang mesti disempurnakan. Seperti pasca perubahan UUDNRI 1945 khususnya setelah presiden dan wakil presiden dipilih langsung rakyat, presiden terpilih yang mendapat dukungan mayoritas dari pemilih ternyata belum tentu didukung mayoritas suara di DPR.
Karena itu koalisi taktis dilakukan antar parpol pendukung presiden terpilih dengan parpol lain yang memperoleh kursi di DPR. Ini dampak akibat dari ketidak jelasan presiden yang dipilih lamgsung oleh rakyat bertanggung jawab kepada siapa.
“Atas kondisi itu, seringkali terjadi dimana legitimasi suara dari rakyat melalui pemilihan umum dalam menentukan presiden bersama wakil presiden. Dalam ekspektasi independensi kebijakan justru seringkali terdistorsi kepentingan para kelompok elit politik,” demikian Sultan Bachtiar Najamudin. (akhir)