Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Lumajang Kelas IA)
Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan tujuan seluhur itu, perkawinan memang bukan sebuah ikatan biasa melainkan ikatan yang kuat. Kompilasi Hukum Islam sebagai fikih ala Indonesia memberikan predikat terhadap ikatan perkawinan ini sebagai “mitsaqan ghilidhan”.
Predikat tersebut ternyata mempunyai keistemawaan khusus. Sebab, istilah mitsaqan gholidhan Allah SWT lah yang memberikannya. Dalam Surat An-Nisak Allah secara tegas menyebut ikatan perkawinan sebagai mitsaqan ghalidhan. Dan, ternyata dalam Al Quran yang 30 juz itu, Allah menggunakan istilah tersebut hanya tiga kali saja, yaitu pertama dalam Surat An-Nisak ayat 41 (ikatan perjanjian/ akad perkawinan), kedua, Surat An-Nisak ayat 154 (ikatan perjanjian dengan kaum Nabi Musa); dan ketiga, Surat al Ahzab ayat 7 (ikatan perjanjian Allah dengan para rasul-Nya).
Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka perceraian sejauh mungkin dihindari oleh setiap pasangan suami istri kecuali jika sudah apabila sudah sangat terpaksa. Hal ini juga menjadi salah asas yang dianut oleh undang-undang perkawinan kita yaitu mempersulit terjadinya perceraian. Dengan mengacu kepada asas tersebut, maka perceraian hanya dapat dilakukan apabila ada alasan-alasan tertentu sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Sekalipun dampak perceraian telah dirasakan masyarakat, terutama kepada anak-anak, tetapi angka perceraian hampir di seluruh wilayah Indonesia, dari tahun ke tahun justru tetap meninggi. Padahal, pada saat yang sama, Mahkamah Agung telah menerbitkan Perma Nomor 1 Tahun 2016. Perma yang merupakan penyempurnaan beberapa perma sebelumnya ini, pada intinya memaksimalkan upaya damai, sebagaimana yang diamanatkan oleh hukum acara perdata kita, dalam hal ini Pasal 130 HIR, sehingga sengketa yang sedang berlangsung bisa berakhir damai. Perkara perceraian juga terkena pengaturan perma tersebut.
Salah satu segmen masyarakat yang kini menjadi sumbangsih tingginya kuantitas perceraian adalah pegawai negeri sipil (PNS). Sebagai unsur Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat, PNS memang harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk dapat melaksanakan kewajiban yang demikian itu, maka kehidupan Pegawai Negeri Sipil harus ditunjang oleh kehidupan berkeluarga yang serasi, sehingga setiap Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugasnya tidak akan banyak terganggu oleh masalah-masalah dalam keluarganya. Dengan latar belakang demikianlah antara lain diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990.
Menurut data Badan Kepegawaian Negara jumlah PNS hingga Desember 2020 adalah sebanyak 4.168.118 orang yang terdiri dari 522.007 orang atau 37 persen laki-laki dan 896.259 atau 63 persen perempuan. (Kompas.com/30-03-2021)
Dengan kata lain, adaa 4 juta lebih orang Indonesia yang beruntung menjadi PNS harus memberikan keteladanan kepada lebih dari 270 juta penduduk Indonesia. Dengan diundangkannya PP 10 Tahun 1983 yang telah diubah dengan PP 45 Tahun 1990 di atas, tingkat resistensi keluarga PNS diharapkan menjadi garda terdepan bagi model keluarga idaman sebagai keluarga yang kekal dan bahagia sebagaimana maksud Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 atau keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah sebagaimana maksud Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam. Jika keluarga merupakan satuan terkecil dari terbentuknya masyarakat, maka hanya bermula dari keluarga yang bahagia inilah maka cermin kesejahteraan masyarakat yang ada di bumi Indonesia akan tampak.
Kehadiran PP 10 Tahun 1983 yang kemudian diubah PP 45 Tahun sebenarnya tidak berdiri sendiri. Aturan hukum yang ada pada kedua peraturan perudang-undangan tersebut juga terkait dengan ketentuan yang berkaitan dengan peraturan disiplin PNS sebagaimana tertuang dalam PP 30 Tahun 1980 yang kemudian dinyatakan dicabut dan tidak berlaku setelah diundangkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Sekalipun demikian, semua ketentuan pelaksanaan mengenai disiplin PNS yang ada sebelum berlakunya peraturan pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diubah berdasarkan peraturan pemerintah ini. Terkait dengan perceraian, PNS yang melanggar PP 10 Tahun 1983 jo PP 45 Tahun 1990 akan terkena hukuman disiplin PP 53 Tahun 2010 ini. Hukuman disiplin tersebut ialah sebagaimana tertuang dalam Pasal 7. Bahkan, hukuman disiplin terkait dengan PNS yang melanggar prosedur perceraian ialah berupa disiplin berat. Pelanggaran tersebut seperti yang diatur Pasal 15 PP 45 Tahun 1990, misalnya ialah bila PNS yang bersangkutan mengajukan perkara perceraian belum memperoleh izin atasan. Atau, kalau berposisi sebagai tergugat ia tidak melaporkan atasan. Atasan PNS yang bersangkutan juga bisa terkena hukum disiplin berat jika dalam waktu tiga bulan tidak segera menyikapi permohonan izin atau laporan PNS yang bersangkutan.
Dalam praktik memang banyak, PNS yang mengajukan gugatan perceraian dalam keadaan belum memperoleh izin atasan. Suasana rumah tangga yang sudah bermasalah sedemikian rupa tampaknya menjadi alasan mengapa PNS menempuh jalan senekat itu, sekalipun sanksi disiplin menghadang. Sebagai penegak aturan, biasanya hakim pemeriksa selalu memerintahkan agar PNS yang bersangkutan tetap mengurus izin dari pejabat yang berwenang, dengan menunda sidang dalam waktu tertentu.
Berbeda halnya, jika PNS yang bersangkutan berkedudukan sebagai tergugat. Apabila yang bersangkutan setelah dipanggil secara resmi dan patut tidak datang (biasanya 2 kali berturut-turut) Hakim pemeriksa perkara langsung memeriksa pokok perkara tanpa kahadiran PNS yang bersangkutan. Apabila gugatan Penggugat beralasan dan berdasarkan hukum biasanya gugatan dikabulkan tanpa kehadiran PNS yang bersangkutan. Ketidak hadiran PNS dalam sidang yang berakibat lahirnya putusan verstek mengabulkan gugatan/ permohonan istri/ suami, sekalipun telah dipanggil secara resmi dan patut ini, di satu sisi oleh pengadilan yang bersangkutan dianggap telah menggugurkan haknya membela kepentingannya, di sisi lain, dapat pula dianggap melanggar disiplin sebagai PNS. Mengapa? Dengan tidak hadir di persidangan dengan alasan yang tidak sah, berarti dia “tidak melakukan kewajiban melapor atasan” tentang adanya gugatan/ permohonan istri/ suami.
Dalam praktik, sering persoalannya tidak hanya sampai di situ. Banyak PNS baik yang berkedudukan sebagai penggugat/pemohon maupun tergugat/termohon ketika mohon izin atau melaporkan adanya gugatan/permohonan dari istri/suami mengalami hambatan birokrasi dari satuan kerja (satker) tempat PNS yang bersangkutan bekerja. Atasan yang mendapat permohonan izin atau yang menerima laporan adanya gugatan/permohonan tidak merespon sesuai aturan yang ada. Akibatnya dia harus menunggu dan menunggu dalam waktu yang tidak menentu. Pada saat yang sama, hakim pemeriksa perkara telah memberikan pula kesempatan cukup bagi PNS yang bersangkutan. Hakim harus memberikan batasan waktu mengurus izin atau keterangan karena terikat asas pokok peradilan, yaitu sederhana, cepat, dan biaya ringan. Apalagi, di era SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara) yang menuntut para pengadil berpacu dengan waktu dalam menyelesaikan perkara, termasuk perkara perceraian.
PNS yang telah mengurus izin atau melapor atasan sesuai aturan dan tidak segera ditindak lanjuti sesuai tahapan-tahapan apabila kemudian pengadilan memutus cerai seharusnya, tidak boleh dipersalahkan. Sebagai konsekuensinya, PNS yang bersangkutan juga tidak boleh dikenai hukuman disiplin. Dan, sesuai Pasal 15 PP Nomor 45 Tahun 1990 jo Pasal 7 ayat (4) PP 53 Tahun 2010, justru atasanlah yang harus mendapat ganjaran disiplin berat. Hal demikian, perlu mendapat perhatian oleh para pemangku kepentingan (stakeholder) sebab akan bermuara kepada dua hal. Pertama, bagi PNS yang bersangkutan, agar segera mendapat kejelasan nasib menghadapi kemelut rumah tangga yang kian meruncing dan berlarut-larut yang akan dapat menurunkan kinerjanya. Kedua, bagi pejabat agar segera melakukan pembinaan kepada PNS yang bersngkutan. Pembinaan itu juga bisa berhasil sehingga keluarga PNS yang bersangkutan kembali harmonis. Atau, gagal yang berkibat PNS tersebut tetap meneruskan perceraiannya di pengadilan.
Akan tetapi, dalam konteks ini, ada aspek lain yang perlu mendapat sorotan kita. Berdasarkan penuturan beberapa PNS selama persidangan, adanya hambatan pengurusan izin atau surat keterangan ini, tercium aroma tak sedap. Aroma tak sedap itu ialah adanya dugaan terhadap beberapa oknum atasan yang sengaja ‘menghambat’. Tindakan itu dilakukan, bukan atas dasar motivasi positif, seperti agar PNS yang bersangkutan dapat cooling down dari sengketa rumah tangganya, tetapi karena motif-motif tercela, seperti karena hanya ingin mendapat uang pelicin atau karena salah satu pihak menyangkut orang dekat atau keluarga atasan yang bersangkutan.
Padahal, apapun motivasinya, jika atasan tersebut tidak menindak lanjuti sesuai aturan, dapat terkena sanksi, bukan sekedar sanki ringan atau sedang, tetapi sangki hukuman disiplin berat sebagaimana Pasal 15 di atas. Dengan demikian, yang pasti kasus perceraian yang melibatkan PNS termasuk aspek yang bisa mempunyai nilai tawar. Suasana bernuansa intimidasi oleh oknum pejabat yang berwenang kadangkala sengaja diciptakan agar kasus perceraian PNS yang bersangkutan punya nilai tawar tersebut. Dan, biasanya suami atau istri demi segera keluar dari kemelut rumah tangga, kadang-kadang bisa rela berbuat apapun demi memuluskan urusannya. Wallahu a’lam.