JAKARTA, Beritalima.com– Politisi senior di Komisi XI DPR RI yang juga seorang ekonom, Dr Hj Anis Byarwati dalam rapat dengan pembantu Presiden Joko Widodo (Jokowi) di PPN/Bappenas, Suharso Monoarfa pertengahan pekan ini mengatakan, utang Indonesia sudah dalam taraf sangat mengkhawatirkan.
Untuk itu, Anis meminta Pemerintahan Jokowi memacu pendapatan negara. “Yang terjadi saat ini, utang tumbuh jauh lebih tinggi baik kalau dibandingkan dengan penerimaan negara maupun pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, Indonesia semakin terjebak dalam hutang,” ungkap anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI ini.
Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI itu mengatakan, terkait dengan porsi utang dalam bentuk valuta asing (valas) memang menurun menjadi 13 persen dari total utang pemerintah.
Namun, kata dia, nilai rupiah yang cenderung terdepresiasi menyebabkan utang negara semakin riskan baik dalam cicilan pokok maupun bunganya. “Dengan kondisi seperti ini, bagaimana mungkin kita masih mengatakan utang kita aman-aman saja,” ketus wakil rakyat Dapil Jakarta Timur itu.
Ketua DPP PKS bidang Ekonomi dan Keuangan ini menegaskan, perlu dilakukan kajian mendalam terkait rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang benar-benar mencerminkan kondisi riil.
“Selama ini, perhitungan yang dilakukan hanya utang pemerintah pusat terhadap PDB. Sedangkan utang BUMN tidak dimasukan dalam hitungan. Praktek di negara-negara lain, utang BUMN termasuk dalam kalkulasi rasio tersebut,” ujar Anis.
Sejalan dengan itu, Anis menegaskan, perlu klarifikasi apa perhitungan rasio hutang Pemerintah Indonesia terhadap PDB sudah apple to apple dengan perhitungan di negara lain? “Tidak masuknya utang BUMN dalam hitungan, menyebabkan rasio utang Indonesia menjadi cukup rendah. Ini perlu klarifikasi,” pinta perempuan berhijab ini.
Pada kesempatan itu, Anis juga menyampaikan terkait data rasio utang terhadap ekspor yang telah mencapai 209 persen. “Hal tersebut perlu disampaikan Pemerintahan Jokowi agar publik faham utang pemerintah tidak baik-baik saja,” tegas pemegang gelar doktor Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini.
Sebagaimana diketahui rasio utang ini semakin mengkhawatirkan karena ekspor Indonesia menghadapi tantangan penolakan dari negara-negara lain dengan alasan lingkungan. Ekspor yang di tolak di negara lain itu seperti CPO dan Batubara.
Anis juga mengingatkan Pemerintahan Jokowi soal kekhawatiran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang menyatakan meningkatnya utang pemerintah karena pandemi Covid-19, sangat berbahaya.
Dalam Rapat Paripurna DPR RI di Gedung Nusantara II Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa lalu, BPK menyampaikan kekhawatirannya pemerintah tidak mampu membayar utang beserta bunga, mengingat beberapa indikator yang cukup mengkhawatirkan.
Indikator pertama, tren pertumbuhan utang sangat jauh dibandingkan dengan pertumbuhan PDB. Indikator kedua rasio debt service Indonesia terhadap penerimaan 46,77, melampaui rekomendasi IMF 25-35 persen.
Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan mencapai 19,06 persen juga melampaui saran IDR 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF 7-10 persen.
Dalam rapat itu, Anis meminta penjelasan lebih lanjut mengenai sumber pinjaman luar negeri baik dari bilateral maupun multilateral termasuk pinjaman dari negara lain. Ia juga mengingatkan agar pemerintah lebih cermat dalam mengelola utang dan menentukan sumber pinjaman.
Berdasar penjelasan Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa menyebutkan, pinjaman luar negeri relatif memiliki bunga rendah sehingga Anis menyarankan “Jika pinjaman luar negeri memiliki bunga rendah, seharusnya pemerintah tak perlu menambah hutang lewat SBN. Kami perlu tahu seberapa rendah bunga yang dimaksud,” tanya dia.
Anis juga meminta penjelasan pembantu Jokowi di PPN/Bappenas itu mengenai pinjaman luar negeri yang khusus ditujukan untuk penanganan pandemi Covid-19. (akhir)