JAKARTA, – Peneliti politik senior BRIN, Siti Zuhro mengatakan, operasi darat atau sosialisasi secara langsung kepada masyarakat, perlu dan relevan bagi parpol dan juga elitnya. Meskipun saat ini media sosial dan digital berkembang pesat sebagai sarana penyebar informasi.
“Memang kalau menurut saya Indonesia memasuki masa transisi. Transisi menuju era digital memang dilakukan tetapi tidak mayoritas melakukan itu. Karena Itu partai politik, elit itu sadar kalau operasi darat ini masih diperlukan. Jadi pertemuan offline, langsung dengan masyarakat masih diperlukan untuk yang tidak bisa diatasi dengan opsi digital, maya,” tegas Siti Zuhro, Selasa (20/12/2022).
Zuhro menambahkan, dengan pertemuan tatap muka, maka pesan yang disampaikan bisa diketahui feedbacknya secara langsung. Elit partai bisa melihat mimik wajah, kesungguhan dari kader mereka.
“Sekaligus juga melihat mimiknya, jadi semuanya, raut muka. Sekarang ini beda ya, mungkin karena kita terbiasa dengan model offline, tetapi hampir 3 tahun kita melakukan model model yang lebih digital, hybrid, tetapi sekarang mulai berkembang lagi lebih ke bertemu langsung,“ jelas Zuhro.
Salah satu partai politik yang tengah membangun sosialisasi dengan metode operasi darat yakni Partai Golkar. Sekjen DPP Partai Golkar, Lodewijk F Paulus turun langsung ke daerah dalam kegiatan rekrutmen anggota Partai Golkar baru yang disebut Pasukan Operasi Darat di tiga kelurahan se Kota Bandar Lampung.
Dia meminta kader Golkar yang baru direkrut agar menyosialisasikan Airlangga Hartarto sebagai calon Presiden. Saat ini Partai Golkar tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bersama PAN dan PPP.
Soal capres, Partai Golkar mantap mengajukan Ketum Airlangga Hartarto sebagai Capres. Meski begitu belum ada kesepakatan dari KIB. “Menurut saya berkoalisi masih terkesan jalan sendiri-sendiri,” sebut Zuhro.
Karena itu dia mengatakan, jika Golkar masih mantap mengusung Ketum Airlangga, seluruh cara harus dilakukan. “Obsesi Golkar ingin mencalonkan kadernya sendiri, yang notabene Ketum Airlangga,” tandas Zuhro.
Saling Melengkapi
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin menilai penggunaan strategi darat dan udara dalam pengenalan kandidat atau calon tidak dapat dilepaskan satu sama lain.
“Saya melihat dua-duanya digunakan serangan melalui darat dan udara,” ujarnya.
Akademisi dari Universitas Al-Azhar Indonesia itu juga mengungkap strategi darat bertumpu pada cara-cara konvensional seperti silaturahmi, kunjungan, mendatangi tokoh-tokoh masyarakat, membuat baliho ataupun spanduk. Sedangkan cara udara bertumpu pada upaya kreatif di media sosial untuk bisa melakukan sosialisasi atau kampanye terkait prestasi atau keberhasilan seorang calon.
“Kedua strategi ini diharapkan secara bersamaan, beriringan untuk bisa menopang satu sama lain,” tegasnya.
Menurutnya, pemilih pada Pemilu 2024 adalah kombinasi antara pemilih lama dan muda, bahkan lebih banyak pemilih muda. Oleh karena itu, ia menyarankan menyasar pemilih lama bisa digunakan cara darat, sedangkan untuk menjangkau anak-anak muda milenial menggunakan media sosial. Lalu menjangkau pedesaan menggunakan sepanduk, baliho dan sebagainya.
“Jadi saya melihat mereka menggunakan dua-duanya. Karena saling melengkapi, baik darat maupun laut,” ungkapnya.
Ujang menambahkan kedua metode juga punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Metode pengenalan udara, mempunyai kelebihan seperti lebih berbiaya murah dan mudah menjangkau milenial. Kekurangannya tidak semua segmen terkena, karena pemilih konvensional tidak terjangkau media sosial. Sedangkan metode darat, maka akan sangat menghabiskan banyak energi dan logistik. Keuntungannya, publik dan masyarakat bisa lebih mengenal calon.
“Tentu memang kalau darat akan menguras energi, tenaga, waktu, pikiran, lalu uang karena harus membantu masyarakat yang ditemui, harus menyumbang, membuat jalan, infrastruktur, dan lain-lain. Keuntungannya jalur darat, masyarakat langsung berinteraksi, langsung mengenali, langsung teringat. Itu lebih mengena secara politik,” pungkasnya.(ar)