beritalima.com | Sepertiga dari semua penduduk kota di seluruh dunia kekurangan kurangan akses ke perumahan yang aman dan terjamin. Kesenjangan terburuk banyak terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Kota-kota dunia tumbuh begitu cepat sehingga pemerintah tidak dapat membangun layanan dan infrastruktur yang cukup cepat untuk mengakomodasi pendatang baru. Hasilnya adalah jutaan orang hidup dalam kondisi yang tidak memadai dan merusak kepercayaan pada pemerintah.
Jika tren pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan perkotaan seperti ini terus berlanjut, pada tahun 2025 sebanyak 1,6 miliar orang di seluruh dunia akan kekurangan akses ke perumahan yang terjangkau, memadai, dan aman. Seiring dengan pertumbuhan populasi perkotaan, kesenjangan perumahan akan melebar, memperburuk ketidaksetaraan.
“Ketimpangan ini adalah hal yang serius diperhatikan. Bagaimana kita bisa memasuki era industri 4.0 jika tunawisma telah menjadi momok bagi semua negara dunia. Bagaimana berbicara tentang smart cities, jika kota-kota maju pun sebenarnya masih berkutat dengan backlog perumahan, sebuah kondisi yang sangat kontraditif,” kata Erwin J.Koto, pemerhati real estat yang juga Founder Property Inside, Sabtu (10/8).
Permasalahan di Indonesia pun sama, bahkan disebut-sebut ketimpangan pasokan rumah (backlog) mencapai 11 juta rumah yang terus bertambah tiap tahunnya. Ini permasalah pelik, namun pemerintah masih menyatukan sektor perumahan dalam satu kementerian di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat.
“Seyogyanya, sektor perumahan ini haruslah dinaungi oleh kementerian sendiri yang memiliki kewajiban menyediakan hunian terjangkau bagi rakyat Indonesia, sekaligus juga memiliki otoritas untuk mengelola perkotaan yang terkordinasi dengan pemerintah daerah” lanjut Erwin.
Lebih lanjut dirinya menjelaskan, tetek bengek perijinan pemerintah daerah, masalah ketersedian lahan untuk membangun rumah MBR, masalah sertifikasi laik fungsi (SLF) rumah subsidi, atau permasalahan kehabisan kuota KPR rumah subsidi sudah cukup menjadi alasan agar pemerintahan Jokowi – Ma’ruf Amin nanti memusatkan perhatian di sektor ini dengan menjadi kementerian tersendiri.
“Itu baru sebagian dari permasalahan kompleks affordable housing. Belum lagi kita bertanya berapa banyak BUMN yang ikut memasok rumah subsidi untuk rakyat saat ini? Padahal Presiden Jokowi gencar menggaungkan “Program Sejuta Rumah”, sungguh sangat paradoks.”
Hal senada disampaikan Chairman The Housing Urban Development Institute (HUD), Zulfi Syarif Koto. Menurut Zulfi, beban kerja Kementerian PU membangun infrastruktur di bawah nahkoda Basuki Hadimuljono sudah cukup berat jika harus membagi lagi fokus ke sektor perumahaan.
“Jika pak Jokowi ingin mencapai Indonesia Emas 2045, pertimbangkanlah hal ini masak-masak. Perumahaan Rakyat dan Pembangunan Perkotaan harus dikelola intitusi tersendiri. Jika tidak Kementerian, siapkanlah paling tidak sebuah Badan setingkat Menteri yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.”
Atau paling tidak, kata Zulfi lagi, jika memang harus di bawah naungan kementerian Presiden harus menyiapkan Wakil Menteri agar sektor Perumahaan Rakyat tidak merasa dianaktirikan dalam rencana pembangunan menuju Indonesia Emas ini.
“Kami ingin Pak Jokowi menorehkan tinta emas dan meletakkan dasar-dasar pembaharuan affodable housing yang sudah menjadi permasalahan mendasar di semua negara dunia saat ini. Melihat latar belakang beliau yang peduli beliau pada rakyat kecil, saya yakin pak Jokowi akan mempertimbangkan,” pungkas Zulfi.