Dia (Anak) Yang Malang

  • Whatsapp

Oleh: Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.

(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A )
Kecantikan wanita itu memang belum sekelas Luna Maya. Postur tubunya pun belum dapat kita setarakan dengan para bintang filem “bomsex”. Akan tetapi bagi lelaki muda dengan selera menengah ke bawah tentu cukup layak mejadi objek imajinasi erotis. Penampilannya berjilbab dan suaranya yang lembut membuat para pria akan kesengsem. Sunggingan senyum yang sesekali terlihat semakin menambah gairah pria.
Tetapi, siapa yang menyangka kalau wanita itu mempunyai track record yang cukup menarik pula untuk diangkat dalam tulisan ini.

Wanita berjilbab dan sangat sopan itu mempunyai pengalaman pengembaraan dunia asmara yang cukup membuat bulu kuduk kita berdiri. Dengan terus terang dan jujur dia menjawab setiap pertanyaan hakim di persidangan. Di dipersidangan dia membuat testimoni, bahwa dia sebelum menikah sering bergonta-ganti pasangan. Berhubungan intim dengan lebih dari satu pria, ia akui dengan penuh kesadaran. Diapun dengan vulgar, tetapi tetap disampaikannya dengan suara lembut, ‘mendalilkan’ bahwa ketika berhubungan intim selalu meminta lawan mainnya untuk menumpahkan air ‘bahan baku manusia’ itu di luar. Itulah sebabnya dia tampaknya sangat kecewa kepada lelaki yang akan menceraikannya itu. Sebab lelaki itu berdalih bahwa anak yang dikandung dan kemudian dilahirkannya bukanlah darah dagingnya. Lelaki itu tampaknya membuat sejumlah alasan tuduhannya. Menurut dokter yang ia kunjungi, bahwa darah bayi yang dilahirkan secara medis tidak sesuai dengan ‘teori kemungkinan’ yang ada. Menurut teori itu, seorang pria dengan “darah anu” dan perempuan dengan “darah anu” akan melahirkan dengan” darah anu”.

Tetapi pria ini semula memang tidak dapat memungkiri bahwa dialah satu-satunya pria yang harus bertenggung jawab untuk mengawininya. Karena ia telah ‘tertangkap basah’ sebagai pria terakhir yang menurut wanita itu menjadi penyebab ia hamil. Alasan wanita itu sangatlah privasi dan pasti tidak diketahui oleh pria itu. Menurut wanita itu, pria itulah satu-satu pria yang diizinkan menumpahkan sperma di ‘liang kenikmatan’ yang ia miliki. Dengan, teori demikian, si pria tidak dapat mengelak dari tuduhaannya dan harus bertanggung jawab membuat anak itu mempunyai ayah secara legal. Itulah sebabnya saat dia hamil harus mengatakan kepada keluarga bahwa pria itulah yang harus megawininya secara resmi. Lain dulu lain sekarang. Tetapi seiring dengan perjalanan waktu pada akhirnya pria itu harus mengkaji ulang kisah asmaranya bersama wanita itu.

Perkawinan yang tidk didasari oleh ketulusan selain hanya nafsu berahi semata itu, tampaknya kini ada tanda-tanda mengalami keretakan. Dan, tanda-tanda keratakan itu semakin nyata ketika secara resmi diaftarkan di pengadilan. Endingnya bagaimana memang belum dapat kita ketahui. Tetapi perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria dengan dibayang-bayangi oleh kehamilan calonnya sering membuat perkawinan tidak langgeng. Perkawinan demikian pasti tidak direncanakan dengan baik selain hanya motivasi pelampiasan hasrat seksual. Dan, hasrat seksual itu sebenarnya sudah ia peroleh saat sebelum perkawinan dilakukan. Saat dia harus melaksanakan akad nikah sebenarnya hanya sebuah keterpaksaan. Norma sosiallah yang membuat pria itu, mau bertanggung jawab mengambil keputusan bersedia menikah. Jika tidak, bisa jadi keduanya akan memperolah sanksi sosial. Tidak jarang sanksi sosial ini di beberapa tempat bisa berupa kekerasan fisik. Di daerah yang menjunjung tinggi harga diri, sering sanksi itu berupa sanksi berupa dua pilihan: hidup atau mati. Kalau mau hidup dia harus mengawini perempuan yang ia hamili, dan sebaliknya. Pada saat harus memilih dua pilihan yang sama-sama sulit ini pasti pria itu akan meililih risiko yang lebih kecil. Risiko itu yang ia pilih itu ialah ‘terpaksa mengawininya’. Apakah setelah perkawinan akan tetap dilanjutkan atau dihentikan hanya waktu yang akan menjadi saksi. Akan tetapi, berdasarkan data yang ada perkawinan yang demikian memang sering kandas di tengah jalan. Apa yang sedang kita bahas dalam tulisan ini hanya salah satu contoh dari ribuan contoh wanita malang yang harus menjadi korban pria hidung belang sekaligus ‘kebodohannya’ sendiri.

Perkawinan dengan latar belakang seperti di atas memang tidak sejalan dengan konsep perkawinan ideal sebagaimana norma-norma standar sebuah perkawinan ideal. Perkawinan ideal itu ialah misalnya perencenaan memilih pasangan dan saat menikah serta mempertahakannya.
Narasi di atas memang mirip dengan judul sebuah filem yang diangkat dari drama radio yang ditulis oleh Eddy Suhendro tahun 1990 dengan durasi 97 menit yang disutradarai oleh Abdi Wiyono dengan pemain August Melaz, Rina Hassim, Elsa Surya, Mila Karmila, Uci Bing Slamet, dan Leny Marlina. Sekalipun kisahnya belum seruwet dengan kisah dalam filem itu, wanita yang kita angkat ini tampaknya juga patut kita juluki sebagai seorang ibu (muda) yang malang. Kisahnya, mirip kisah Corry (dalam filem itu), yaitu mahasiswa kos yang dihamili oleh Sasongko ( sang Bos sekaligus pemilik rumah kos ) yang kemudian justru diusir keluar rumah oleh istri sang bos dengan tanpa tanggung jawab apapun. Sehingga, dia melahirkan anak bernama Sonny. Berbeda dengan Corry, nasib ‘wanita kita’ ini masih beruntung karena anak yang diahirkan masih mempunyai bapak. Sang pria penghamil itu mau mengawininya. Akan tetapi kita tentu menjadi gamang, ketika alasan yang dijadikan dalil menceraikan istrinya di samping karena sering adanya perselisihan dan pertengkaran juga disertai dengan pengingkaran anak. Jelasnya, dia mendalikan bahwa anak yang dilahirkan istrinya dan diklaimkan sebagai anaknya bukanlah darah dagingnya dengan alasan seperti di atas. Kalau pikiran laki-laki itu terus bergulir dan dalilnya terbukti, maka kasus ini tidak hanya kisah seorag ibu yang malang tetapi juga tentang kisah seorang anak yang malang. Anak itu malang, karena yang semula sudah bahagia mendapatkan kejelasan siapa bapaknya, tetapi kehadiran bapak yang ia harapkan itu ternyata kemudian mengingkarinya. Para hakim pengadilan agama tentu akan berpikir keras menyikapi problematika demikian. Di satu sisi harus tetap melindungi kepentingan anak yang – oleh karena kedua orag tuanya telah menikah secara resmi dan anak dilahirkan lebih dari enam bulan setelah pernikahan resemi–secara legal telah mempunyai ayah ibu dan ayah secara resmi. D sisi lain ketika laki-laki tetap bersikeras mendalilkan pengingkaran anak, tentu hakim harus tetap melayaninya. Risikonya, jika kemudian laki-laki itu berhasil membuktikan bahwa ia bukan darah dagingnya nasib buruk akan menimpa si anak. Dia kelak harus mencari beberapa pria yang pernah berhubungan ibunya untuk memastikan sperma siapa yang berhasil membuahi ovum ibunya sehinga dia lahir ke dunia. Pencariannya hanya sekedar mencari bapak biologis dan bukan bapak sahnya. Alangkah malangnya anak itu.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait