Bertalima.com ( Keluarga pasien almarhumah Ibu Safrina, yang merupakan istri dari Bapak Sofyan, melaporkan dugaan malpraktik terhadap manajemen Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin (RSUDZA) dan dokter spesialis bedah saraf ke Polda Aceh. Laporan ini disampaikan karena diduga terjadi kesalahan dalam penanganan medis yang berujung pada meninggalnya pasien.
Kasus ini bermula ketika Safrina berkonsultasi di Klinik Cempaka 5, Banda Aceh, dan direkomendasikan untuk segera masuk ke RSUDZA pada 24 Juli 2024 guna mendapatkan perawatan lanjutan. Setelah menunggu 11 jam di IGD, pada pagi hari 25 Juli 2024, Safrina dipindahkan ke kamar rawat inap Mina 2. Setelah menjalani beberapa hari perawatan, pasien menjalani CT scan yang menunjukkan adanya gumpalan dalam batok tengkorak yang diduga kanker dan membutuhkan tindakan operasi.
Sebelum operasi, kondisi tekanan darah Safrina dilaporkan naik-turun. Menurut Sofyan, istrinya tidak pernah mengalami tekanan darah tinggi sebelumnya. Meskipun demikian, keluarga menyetujui prosedur operasi dengan harapan dapat mengurangi rasa sakit yang dialami Safrina. Pada 31 Juli 2024, Safrina menjalani operasi pengangkatan kanker yang dilakukan oleh Dr. I H, M. Kes., Sp. Bs.
Setelah operasi pertama, pasien dipindahkan ke ruang ICU. Namun, tekanan darahnya naik drastis hingga 220/120 mmHg. Hasil CT scan menunjukkan adanya pembengkakan otak dan perdarahan aktif. Dr. I H kemudian menyarankan operasi kedua untuk dekompresi dan mengurangi tekanan dalam otak. Sofyan menyetujui tindakan tersebut dengan harapan kondisi istrinya membaik.
Pada 2 Agustus 2024, operasi kedua dilakukan. Saat itu, dokter melebarkan tengkorak untuk memberikan ruang pada otak yang membengkak. Setelah operasi, Safrina kembali dirawat di ICU dengan kondisi kritis. Kepala ruang ICU, Dr. T Y, SpAn., KIC, kemudian memberi tahu keluarga bahwa kondisi pasien tidak stabil dan “ilmu kedokteran bukanlah ilmu pasti,” yang semakin membuat keluarga khawatir.
Selama 14 hari di ICU, kondisi Safrina tidak menunjukkan perbaikan signifikan. Ia kemudian dipindahkan ke HCU selama 2 hari, lalu kembali ke ICU 1 selama 6 hari hingga akhirnya dipindahkan ke HCU lagi selama 6 hari. Pada 25 Agustus 2024, Safrina dipindahkan ke ruang perawatan Raudhah 3 untuk perawatan lanjutan.
Namun, pada 8 September 2024, Safrina mengalami kejang-kejang yang membuat keluarga semakin mempertanyakan penanganan medis terhadapnya.
Dr. I H menjelaskan bahwa kondisi pasien dipengaruhi oleh pecahnya pembuluh darah di otak akibat tekanan darah tinggi saat operasi pertama. Penjelasan ini semakin menambah kekecewaan keluarga.
Pada 13 September 2024, Dr. I H kembali menemui keluarga dan menjelaskan bahwa Safrina mengalami kerusakan pada saraf thalamus, yang memengaruhi kesadaran dan kewaspadaan.
Dokter juga menyarankan agar pasien mendapatkan perawatan paliatif, yang mengecewakan keluarga karena mengindikasikan kondisi pasien tidak lagi dapat disembuhkan.
Sofyan mengungkapkan bahwa sejak awal masuk RSUDZA, ia berharap istrinya mendapatkan perawatan yang optimal untuk sembuh, bukan malah semakin memburuk. Ia menduga tindakan dokter tidak mempertimbangkan kehati-hatian dan profesionalisme yang memadai dalam penanganan istrinya.
Setelah dirawat selama 51 hari, pada 15 September 2024, Safrina meninggal dunia di RSUDZA. Jenazahnya kemudian dibawa pulang oleh keluarga ke Aceh Timur untuk dikebumikan.
Kuasa hukum keluarga, Usman S.H dari Kantor Hukum Rasman Law, menyatakan pihaknya telah meminta pertanggungjawaban kepada pihak RSUDZA dan dokter terkait namun belum ada itikad baik. Oleh karena itu, laporan resmi dilayangkan ke Polda Aceh pada 13 November 2024,”(**)