Bima NTB
Ennike Florida, SH Wanita kelahiran 1973 ini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Wanita yang mengaku berasal dari Kabupaten Lumajang Jawa Barat ini diindikasikan telah lama melancarkan aksinya di Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat (NTB), seperti pepatah “sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga”. Itulah yang dilakukan Enni (sapaannya), dengan bermodalkan argumentasi yang meyakinkan, serta sejumlah factor pendukung lain seperti kartu identitas, penampilan dan akses penguasaan IT. Enni melancarkan aksi penipuan pada sejumlah korbannya. Namun apes, wanita yang mengaku sebagai pegawai penting di Pengadilan Tinggi Negeri Jakarta ini terjebak perangkap korbannya Pasangan suami isteri (Pasutri) Achmadin dengan Fachrunnas. Kamis (08/09) di desa Tente kecamatan Woha. Karena terdesak kebutuhan tagihan hotel tempatnya menginap, Enni harus nekat mendatangi kediaman korban yang beralamat di jalan Buyahamka dusun Suka Maju RT 06/03 Desa tente. Tersangka tidak sadar jika korban sengaja menariknya keluar sarang dan masuk perangkap. Enni tidak dapat berkutik, sebab kehadirannya di kediaman korban telah ditunggu sejumlah tokoh pemuda dan keluarga korban untuk diinterogasi sekaligus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Achmadin mengaku ini dilakukan karena telah mencium aroma penipuan atas kedekatannya dengan tersangka, “Hal itu terakhir saya ketahui atas pengakuan sejumlah sumber baik itu korban, calon korban, bahkan pihak hotel tempatnya menginap. Karena setiap hari sejak pertemuan dengan ibu Enni saya tetap mengumpulkan informasi untuk meyakinkan semua perkataannya,” ungkap Achmadin didampingi istri. Tersangka telah berhasil meraup uang pasutri ini sebanyak 13,5 juta rupiah, selain biaya hidup selama tersangka menginap di hotel ternama di kota Bima. Dituturkan Pasutri ini bagaimana pola tersangka menjalankan aksi penipuannya, “Saat itu tanggal 14 Agustus 2016 di lapangan merdeka, secara tidak sengaja saya berkenalan dengan ibu Enni dan berujung pada ketertarikan saya untuk mengajukan istri saya yang kebetulan bekerja sebagai guru honor di salah satu sekolah di Kota Bima sebagai calon pada pengangkatan K2,” ungkapnya. “Ibu Enni ini mengaku sebagai pegawai penting di PTN dan memberi keyakinan dapat membantu istri saya. Keyakinan itu juga ditunjukkan langsung dengan menelpon kenalannya di BKN, bahkan dia mengaku punya kenalan di MENPAN,” urai Achmadin.
“Awal aksinya, saya diberitahu bahwa nama istri saya telah masuk dalam daftar tunggu dan untuk itu saya diminta menyerahkan uang 5 jt. Uang itu langsung saya serahkan. Namun beberapa hari kemudian setelah dia mengatakan posisinya di kantor BKN dan nama istri saya tidak masuk, kami diminta untuk menyerahkan sejumlah uang untuk staf BKD propinsi sebagai pelicin,” terangnya. “Kami masih percaya ketika ibu Enni kembali dari Jakarta dan mengatakan istri saya masuk daftar tunggu januari 2017, tapi uang juga tetap diminta karena alasan yang masuk akal, dan pendekatan yang dilakukan juga tidak membuat kami curiga,” ungkapnya dihadapan tersangka. “Terakhir kecurigaan kami muncul dengan sejumlah argumentasi yang mulai tidak logis, seperti biaya sewa hotel yang telah kami sanggupi 1,5 juta dan temuan saya pada beberapa sumber yang telah menjadi korban termasuk salah satu calon korban yang saya datangi di kediamannya di desa Sakuru Monta,” ungkapnya. “Dengan beberapa keyakinan itu, saya sepakat dengan istri bahwa kami telah tertipu sehingga ketika dia meminta bantuan karena telah menjadi tahanan hotel dan baru boleh keluar dengan biaya 5 jt, akhirnya kami sekeluarga memanggilnya untuk datang ke sini,” kata Achmadin. Menegaskan dengan kejadian tersebut Pasutri yang merasa ditipu ini menginginkan tersangka untuk mengembalikan semua uang, “Upaya hukum, akan kita lihat bagaimana kesanggupan ibu Enni dengan kejadian ini,” tutupnya. Sementara Enni Florida di tempat duduknya hanya menutup mukanya dengan bantal sofa tetap bungkam ketika disodorkan sejumlah pertanyaan, “Saya akan segera mengganti uang tersebut,” elaknya singkat. (SUKUR/J)