Oleh Renald Kasali
Beberapa waktu lalu, sejumlah eksekutif datang ke Rumah Perubahan, mereka berkeluh kesah tentang program strategis pemerintah yang sulit dijalankan. “Banyak yang mengganggu,” ujarnya.
Kami lalu sama-sama membuka jejak-jejak digital “para pengganggu” tadi. Staf-staf saya yang masih sangat muda berhasil memetakan siapa saja geng pengganggu itu, kata-kata kuncinya, serta media-media yang mereka gunakan.
Dan yang mengejutkan, ternyata ada orang dalam yang bermasalah yang terlibat.
Mempelajari motif dan pola penyebaran hoax di era ini sebenarnya tidak sulit-sulit amat. Saya masih ingat saat mengalami serangan orang-orang tertentu terkait penjelasan saya tentang disruption dan sharing economy.
Bukannya beradaptasi dengan perubahan, usahawan yang bisnisnya terganggu memilih untuk menyewa jasa para penebar hoax. Dan jangan lupa, mereka bekerja tidak sendirian. Ada yang mengorkestrasinya.
Social Score
Suatu siang di sebuah ruang kecil di Bursa Efek Indonesia (BEI), saya berbincang dengan direktur utama BEI periode yang lalu. Dia bertanya apakah saya pernah membeli saham. Stafnya kemudian mengetik nama di komputer, dan begitu diklik, langsung keluarlah cabang-cabangnya.
Terus terang saya agak takut juga membaca peta data saya. Tapi, alhamdulillah tak begitu punya banyak masalah. Lalu, iseng-iseng saya minta dimasukkan nama seorang politisi yang “berisik”.
Lalu, muncul saham-saham yang dikuasai serta statement yang mereka ucapkan. Saya jadi mengerti mengapa mereka melakukan tekanan-tekanan pada pemerintah, mempersoalkan infrastruktur dan utang BUMN. Rupanya, ada saham di belakangnya.
Data-data itu saya kira juga bisa dihubungkan dengan putusan-putusan hukum di Mahkamah Agung atau laporan-laporan di kepolisian. Tentu juga bisa dihubungkan dengan data-data digital lainnya.
Ngeri memang. Di satu sisi, digital footprint (jejak digital) bisa memberikan rasa aman di mana pelaku-pelaku kejahatan dan penebar hoax menjadi mudah ditangkap. Namun, di lain pihak, data-data dan kebiasaan-kebiasaan kita bisa juga disalahgunakan pihak lain.
Dulu, data perbankan hanya dimiliki bank itu. Tapi, kini disimpan ke dalam cloud, dan muncul open bank yang didasari oleh apps, APIs (application program interface), semua saling terhubung, dan bisa dianalisis dengan sistem big data.
Beberapa tahun lalu, teman saya, seorang CEO bank asing, menolak kredit seorang nasabah yang diperkenalkan seorang pejabat. Jumlah kreditnya besar sekali. Kawan saya hanya mengajukan satu pertanyaan, lalu ia permisi sebentar.
Permintaan orang itu ditolak. Tapi, orang itu kemudian mengajukan kredit ke salah satu bank nasional dan di-approve. Beberapa waktu kemudian, kami mendengar nasabah itu terlibat fraud dan lari ke luar negeri.
Sewaktu saya tanyakan kepada CEO bak asing tersebut, mengapa dulu dia menolak pengajuan kredit orang itu, rekan saya menjawab pendek, “Orang itu memang tidak bisa dipercaya.”
Tahu dari mana? Credit score memang bukanlah hal yang baru bagi perbankan. Tapi, kini bank punya cara yang lebih jitu mempelajari jejak tapak digital calon-calon nasabahnya yang bermasalah.
Di Tiongkok, hari-hari ini masyarakat sedang mendiskusikan tentang social scoring yang bukan sekedar mencatat angka. Melainkan juga segala digital footprint masyarakat. Data-data itu ditangkap melalui CCTV, websites, GPS, data keuangan, kesehatan, sampai belanja, dan konsumsi yang kita lakukan.
Jadi, setiap digital footprint pasti masuk ke score kita. Orang yang sering konsumsi alkohol, terlibat hukum, menyebarkan hoax, dan seterusnya akan punya akibat sendiri. Mereka yang social score-nya tinggi bisa mendapatkan banyak kemudahan, semisal diterima di perguruan tinggi atau mendapat seat untuk nonton. Sementara yang social score-nya rendah, sebaliknya.
Digital Footprint
Sewaktu seorang mantan pejabat kehilangan HP-nya di bandara, saya dengan cepat mengatakan, pasti ketemu. Tak perlu sampai 24 jam. Dan benar saja, malam harinya pengambil ponsel sudah ditemukan di Jakarta Timur.
Kok bisa? Harap Anda maklum di Bandara Soekarno-Hatta, hampir tak ada tempat yang tak terpantau sensor digital dan kamera CCTV. Dengan bantuan petugas aviation security Angkasa Pura (AP) II, polisi menjadi lebih mudah menelusuri jejak-jejak digital pelaku kejahatan.
Karena itu, ketika beberapa hari lalu hoax yang dibuat seorang public figure yang mengaku menjadi korban penganiayaan di Bandung beredar, sambil tersenyum saya berpikir ini tinggal tunggu waktu saja.
Siapa pelakunya dan kebenarannya pasti akan terungkap. Apalagi, orang yang mengaku korban adalah sosok yang dikenal publik. Dan, hampir semua rumah sakit dan tempat-tempat yang dikunjungi, semisal rumah sakit dan bandara, sudah dilengkapi digital camera.
Penulis di bidang teknologi data Priyanka Gupta, juga Seth Stephens-Davidowitz penulis buku best seller Everybody Lies, mengatakan bahwa dengan teknologi, kini sudah tak lagi sulit untuk membuka “kedok” kebohongan.
Demikian pula politikus-politikus yang garang dan gemar merampok uang masyarakat, sekalipun menggunakan jubah kealiman tertentu, akan sangat mudah ditaklukkan ketika digital footprint-nya disajikan kepada publik. Jejak itu, jangankan dilihat orang lain, ditonton diri sendiri saja belum tentu mereka mau.
Bukankah manusia selalu menyembunyikan perilaku-perilaku aslinya yang memalukan? Mereka ingin terlihat sempurna sehingga mengalami social desirability bias.
Seth Stephens-Davidowitz yang menambang data di Google selama 4 tahun melabeli orang-orang yang bias itu sebagai pembohong. Aktor tertentu memang munafik, bahkan tentang kebohongannya sendiri.
Tetapi, mengapa zaman sekarang ini polisi menjadi begitu mudah mengetahui kebohongan-kebohongan itu? Jawabannya adalah karena manusia sendiri yang ceroboh dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang tak pantas.
Celakanya, masyarakat senang menipu diri sendiri sepanjang mereka mendapatkan keuntungan atau kepuasan-kepuasan batin. Namun, di era ini, kemampuan berpikir kritislah yang akan menyelamatkan manusia dari perbuatan-perbuatan jahatnya dan kembali dalam nilai-nilai agama yang dianutnya.
Yaitu, nilai-nilai kebaikan, toleransi, pertolongan, dan kembali dalam ibadah-ibadah yang hakiki. Bukan yang dimanipulasi. Sepertinya, teknologi digital telah menghanyutkan nilai-nilai agama dan kebaikan ke dalam lembah ilusi tentang kehebatan diri masing-masing.
*) Guru Besar Universitas Indonesia, Founder Rumah Perubahan