SURABAYA, Beritalima.com|
Berdasarkan data yang dimuat oleh Transparency International (TI) pada tahun 2021, nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) menunjukkan hampir 2/3 negara yang disurvei memiliki skor dibawah 50 termasuk Indonesia. Saat ini, Indonesia bercokol di posisi ke 96 dengan skor IPK 38.
IPK sendiri merupakan indeks untuk mengukur tingkat korupsi di suatu negara. Dimana semakin kecil skor IPK suatu negara menunjukkan semakin tingginya tingkat korupsi di negara tersebut.
Rendahnya skor IPK Indonesia sudah sepatutnya menjadi refleksi bagi para perguruan tinggi. Selain sebagai pencetak SDM, peran perguruan tinggi diharapkan mampu menjadi gerbang terakhir dalam membangun integritas melawan korupsi.
Direktur Pendidikan UNAIR Prof. Dr. Sukardiman, Apt., MS merasa bahwa kurangnya internalisasi terhadap karakter anti korupsi dalam perguruan tinggi menjadi faktor utama permasalahan tersebut. Perguruan tinggi yang harusnya mencetak generasi muda yang memiliki kualifikasi etika dan moral agama justru banyak melahirkan koruptor baru yang turut andil terhadap rapor merah pemberantasan korupsi Indonesia.
“Tak sedikit produk dari perguruan tinggi malah menjadi aktor dalam tindak pidana korupsi di Indonesia, bahkan wakil rektor perguruan tinggi yang memiliki rekognisi internasional sekalipun pernah ada yang terjerat kasus korupsi, inikan sebuah ironi,” sindirnya dalam Airlangga Forum Jum’at (28/01/2022) lalu.
Dirinya menilai, dalam upaya pemberantasan korupsi sebuah negara perguruan tinggi dapat memiliki empat peranan penting. Yakni pusat pengajaran, dimana kampus bisa memberikan mata kuliah yang berisi nilai antikorupsi dan pusat pergerakan melalui pengembangan budaya akademik antikorupsi.
Kemudian, imbuhnya, kampus juga sebagai pusat riset, data dan berbagai kajian antikorupsi sehingga mahasiswa bisa turut berpartisipasi dalam pergerakan antikorupsi.
“Dan terakhir, tentunya kampus juga sebagai rumah bagi para ahli sudah sepatutnya memberikan kontribusi sesuai keilmuannya dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi,” tandasnya.
Ia menekankan bahwa karakter lulusan yang memiliki integritas kuat serta sadar dan taat akan hukum menjadi kunci utama pemberantasan korupsi di Indonesia. Oleh karena itu, perguruan tinggi harus memiliki model pembelajaran yang tak hanya berfokus meningkatkan kompetensi lulusan, namun juga mampu menginternalisasikan nilai-nilai antikorupsi kepada mahasiswa.
“Pertama diajarkan, yang kemudian dilatih secara terus menerus melalui sistem pembelajaran yang kita terapkan sehingga bisa menjadi kebiasaan dan dari kebiasaan tersebut harapannya bisa menjadi karakter yang membudaya di lingkup perguruan tinggi,” pungkasnya. (Yul)