Oleh: Dikson Ringo *)
Kehadiran staf khusus milenial Presiden Jokowi sempat memunculkan harap, wacana publik akan memberi warna lain dalam perpolitikan Indonesia. Bila melihat Pemilu Presiden 2014 dan 2019, juga pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, penuh intrik politik identitas, sangat membahayakan negara dan merobek kerukunan hingga di kampung-kampung.
Staf khusus milenial presiden hampir semua berprofesi sebagai pengusaha muda digital, publik awalnya yakin mereka akan memberi kontribusi positif bagi presiden. Presiden Jokowi akan mendapat ide segar dalam mempercepat realisasi Indonesia 4.0 dengan basis teknologi digital dalam urusan bernegara dan administrasi pemerintahan. Sebab negara ini memang terkenal lambat dan penuh liku dalam mengurus rakyatnya.
Presiden Jokowi bahkan merasa yakin bahwa kehadiran staf khusus milenial ini akan mendorong lompatan (disrupsi), meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam operasionalisasi gagasan Revolusi Mental. Periode ke-2 Presiden Jokowi jelas ingin fokus pada sumber daya manusia, dan diharapkan berdampak simultan pada sektor lainnya dengan memanfaatkan momentum revolusi digital.
Apa lacur, kehadiran mereka justru mengulangi kekuatiran terhadap pemanfaatn jabatan yang acap terjadi dalam kekuasaan. Pebisnis tetaplah pebisnis yang akan memanfaatkan peluang demi keuntungan atas pengaruh dan jabatannya dalam kekuasaan, bila tak hayati etika publik. Perilaku nepotisme, kolusi mereka itu akan berujung pada korupsi.
Mengurus negara ala staf khusus milenial ini ternyata tak jauh beda dengan koruptor di masa lalu yang kelam. Masuk kekuasaan, manfaatkan jabatan dan raih keuntungan pribadi dengan jabatan dan pengaruhnya. Sangat mengusik publik, mereka tak tahu diri, abai dengan etika jabatan yang harusnya melepaskan konflik kepentingan.
Kehadiran mereka sebagai generasi milenial, pebisnis digital hanya melahirkan oligarkhi baru, berganti oligarkhi tua menuju oligarkhi generasi alay macam mereka ini. Mereka sama sekali tidak sadar kalau etika publik lebih penting dari pada kepintaran mereka. Sebab aturan bernegara, yakni perundang-undangan masih mungkin dikadali. Tapi etika publik menjadi pagar terakhir bagi pejabat publik untuk mengukur tindakannya, agar tidak kebablasan.
Karena itu, staf khusus milenial presiden ini tak mungkin bisa diharapkan menjadi negarawan, dengan tanpa pamrih mengurusi rakyat, rela berkorban tanpa mencari keuntungan baginya dan bisnisnya. Mereka ini tak akan mampu mendorong disrupsi bernegara. Nilai perjuangan tak ada dalam benaknya, cuma nilai keuntungan dalam pikiran mereka. Mereka tak bisa meniru kaum muda pergerakan republik ini yang ikut memproklamasikan negara Indonesia tercinta kita.
*) Pemerhati Kekuasaan/Jabatan