Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan memastikan telah memberikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) kepada Google untuk meminta klarifikasi atas hasil temuan pajak.
“Google sudah diberikan SPHP, konsekuensinya harus dijawab wajib pajak, benar atau tidak temuan pemeriksa,” kata Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi saat ditemui di Jakarta, Senin.
Ken memastikan pemberian SPHP ini merupakan tahap lanjutan dari pemeriksaan pajak terhadap perusahaan teknologi informasi asal Amerika Serikat tersebut.
Namun, ia belum bisa memastikan jawaban Google atas SPHP tersebut dan nominal pungutan pajak yang ditetapkan oleh DJP, karena hal itu merupakan ranah dari pemeriksa.
“SPHP itu begini, kalau saya temukan koreksi 10, terus misalnya (klarifikasi) dijawab cuma 7. Tapi aku belum tau nilainya, karena itu pemeriksa,” ujar Ken.
Terkait keengganan Google untuk ditetapkan sebagai Badan Usaha Tetap (BUT), karena tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan di OECD, Ken menegaskan pungutan pajak di Indonesia telah sesuai dengan hukum pajak yang berlaku.
“Indonesia bukan anggota OECD, kita tidak tunduk pada OECD. UU kita sudah yang paling benar,” katanya.
Menurut catatan DJP, Google di Indonesia telah terdaftar sebagai badan hukum dalam negeri di KPP Tanah Abang III dengan status sebagai PMA sejak 15 September 2011 dan merupakan dependent agent dari Google Asia Pacific Pte Ltd. di Singapura.
Dengan demikian, menurut Pasal 2 Ayat (5) Huruf N Undang-Undang Pajak Penghasilan, Google seharusnya berstatus sebagai BUT sehingga setiap pendapatan maupun penerimaan yang bersumber dari Indonesia dikenai pajak penghasilan.
Namun, Google menolak adanya pemeriksaan pajak lebih lanjut dari otoritas pajak Indonesia dan tidak mau adanya penetapan status sebagai BUT, padahal pendapatan Google dari Indonesia mencapai triliunan rupiah, terutama dari iklan