SURABAYA, Beritalima.com|
Istilah teknologi metaverse jadi perbincangan banyak orang saat Mark Zuckerberg mengubah perusahaanya Facebook menjadi meta pada 2021. Dalam pernyataannya, Mark ingin membangun metaverse.
Metaverse atau alam metasemesta adalah dunia virtual yang memanfaatkan teknologi Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR).
Terbaru, Pemerintah melalui pernyataan Kominfo berencana memanfaatkan teknologi metaverse itu untuk manasik haji. Dosen Teknologi Sains Data (TSD) Universitas Airlangga (Unair) Muhammad Noor Fakhruzzaman SKom MSc menilai ada sejumlah hal yang perlu menjadi perhatian sebelum penerapan teknologi tersebut.
Menurut dosen yang biasa disapa Ruzza itu, Indonesia belum sepenuhnya mumpuni mengadopsi metaverse. Mengingat, tingkat literasi digital di Indonesia masih terbilang rendah.
“Peluang penerapan metaverse di Indonesia masih sangat jauh. Itu karena device VR beserta device pendukung lainnya yang juga terlalu mahal,” ucapnya.
Ekonomi hingga Psikologis
Ruzza menjelaskan bahwa pengembangan dunia virtual tergolong mudah berkembang dan relatif memakan biaya yang murah jika dibandingkan dengan pembuatan properti nyata untuk keperluan manasik haji. Di sisi lain, penggunaan dunia virtual dapat lebih menjamin immersiveness dalam penggunaannya.
“Melalui metaverse, pengguna dapat lebih merasa berada di dalam dunia tersebut. Secara psikologis, jika sebuah dunia virtual dapat meningkatkan faktor presence, maka pengguna akan merasa lebih relate dengan suasana di dalamnya. Dalam konteks manasik haji, hal tersebut akan lebih menjamin atau meningkatkan pemahaman calon jemaah haji,” terang dosen FTMM tersebut.
Potensi Risiko
Di balik solusi inovatif penggunaan metaverse dalam manasik haji, terdapat potensi risiko yang ditimbulkan dan patut mewaspadainya. Ruzza menjelaskan bahwa pengalaman VR dalam manasik haji melalui metaverse dapat memicu motion sickness pada beberapa pengguna. Gejala yang timbul dapat berupa mual, pusing, hingga muntah. Selain itu, kenyamanan pengguna dalam menjelajah di metaverse dapat menjadi risiko.
“Perlu adanya pengondisian space yang memadai juga initial training tentang penggunaan device, untuk mengatasi risiko yang dapat terjadi dari penggunaan metaverse dalam manasik haji,” ungkapnya.
Sebagai penutup, Ruzza menyampaikan bahwa penggunaan teknologi tersebut kurang intuitif bagi sebagian besar orang Indonesia. Meskipun begitu, potensinya untuk berkembang masih sangat besar karena teknologi tersebut memiliki keunggulan yang cukup menjanjikan. Terlebih, dari segi riset, masih ada banyak peluang untuk mengembangkannya lebih lanjut.(Yul)