JAKARTA, Beritalima.com– Ketua Komite IV DPD RI, Ajiep Padindang mengatakan, dalam merumuskan arah dan strategis kebijakan fiskal, pemerintah harus senantiasa mempertimbangkan dinamika perekonomian baik global maupun domestik.
“APBN harus terus didorong agar produktif, efisien, berdaya tahan, mampu mengendalikan resiko dan berkelanjutan,” kata Ajiep saat membuka Rapat Kerja (Raker) dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) di Gedung DPD RI Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (27/5).
Raker tersebut membahas Kerangka Ekonomi Makro (KEM) dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) dan dana transfer daerah. Hasil Raker itu nantinya dijadikan DPD RI sebagai usulan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 ke DPR RI.
“APBN secara konsisten harus terus didorong agar lebih produktif, efisien, berdaya tahan dan mampu mengendalikan resiko serta berkelanjutan,” ucap senator dari Provinsi Sulawesi Selatan itu.
Menurut laki-laki kelahiran Bone, 30 September 1959 tersebut, apa yang dirumuskan pemerintah dalam RPJMN 2020-2024 berkaitan erat bagaimana DPD RI mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Soalnya, sampai hari ini perekonomian di daerah masih berfluktuatif atau tidak merata. “Pertumbuhan di daerah tidak sama. Ada yang tujuh persen, ada juga yang empat persen. Jadi, kita harus menyelesaikan kesenjangan antar daerah dan wilayah, tingginya gini ratio dan lainnya.”
Dijelaskan tantangan dan permasalahan 2020 juga semakin rumit, seperti perkembangan perekonomian global yang masih menuju keseimbangan baru berimbas pada kinerja perekonomian domestik.
“Hal tersebut bersumber dari kebijakan proteksionisme Amerika Serikat dan keberlanjutan normalisasi kebijakan moneter negara-negara maju,” ungkap Ajiep.
Dari sisi domestik, akselerasi investasi dan perbaikan daya saing dapat memperkuat pertumbuhan ekonomi untuk menghindari middle income trap. Namun, pertumbuhan yang dicapai beberapa tahun terakhir menunjukkan hanya berkisar 5-5,5 persen. “Peningkatan kapasitas produksi nasional di sisi lain, membutuhkan dukungan sumber dana untuk kegiatan investasi.”
Ditambahkan, untuk mempercepat penurunan kemiskinan, kesenjangan dan pengangguran. Perlu diikuti peningkatan dan pemerataan akses hidup layak, lapangan kerja, permodalan dan kepemilikan aset melalui program bantuan.
“Di sisi lain, penurunan pengangguran masih menghadapi mismatch antara bidang pekerjaan dengan latar belakang pendidikan dan masih rendahnya kualitas dan produktivitas tenaga kerja Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara di kawasan Asia,” jelas Ajiep.
Wakil Menkeu, Mardiasmo mengatakan, sampai saat ini belum ada daerah yang berniat untuk menerbitkan obligasi daerah. Padahal, instrumen ini bisa menjadi alternatif pembiayaan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah lebih baik lagi.
“Saat ini obligasi daerah belum pecah telur. Sampai detik ini belum ada dari 34 provinsi atau lebih dari 500 kota dan kabupaten belum ada yang menerbitkan. Padahal untuk akselerasi daerah,” ujar Mardiasmo.
Dia menilai, pemerintah perlu dukungan DPD RI agar instrumen pembiayaan ini menjadi pilihan Pemda. Apalagi sudah ada perbaikan dan fleksibelitas bagi Pemda yang mau menerbitkan obligasi daerah.
“Kalau mereka sudah kuat maka untuk akselerasi pembangunan tidak lagi andalkan APBD saja. Jadi barangkali kita bisa bicarakan ini,” demikian Mardiasmo. (akhir)