JAKARTA, Beritalima.com– Komite I DPD RI meminta pemerintah segera menyelesaikan kasus ganti rugi tanah kepada 1.114 Kepala Keluarga (KK) bekas UPT Tumokang, Mopugat dan Mopuya, Dumoga Utara, Bolaang Mogondow, Sulawesi Utara.
Komite I juga meminta Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow meninjau ulang rencana upaya hukum luar biasa dengan melakukan peninjauan kembali terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung yang memenangkan masyarakat.
Itu terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komite I dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Ditjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri, Badan Pengawasan Keuangan&Pembangunan dan pihak terkait di Ruang Rapat Komite I, Gedung B DPD RI, Komplek Parlemen, Senayan Jakarta. Senin (5/2).
Ketua Komite I Benny Rhamdani mengatakan, putusan pengadilan terhadap kasus ganti rugi tanah bekas UPT itu secara hukum sudah inkrah sesuai putusan PN Kotamobagu No: 88/Pdt.G/2012 tanggal 22 April 2012. Putusan PT Sulut No: 115/Pdt/2013/PT MDO, tanggal 19 September 2013 dan putusan MA No: 816.K/Pdt/2014 tanggal 22 September 2014.
Pemerintah Bolaang Mongondow harus segera menyelesaikan ganti rugi tanah ini dan menghimbau Pemda tidak melakukan peninjauan kembali atas kemenangan hukum terhadap rakyatnya.
Selain itu, ganti rugi yang diminta Rp 52 miliar. “Saya kira tidak berat jika dibandingkan APBN atau APBD yang ada. Menjadi kewajiban pemerintah membela hak-hak rakyat. Saya sesalkan Bupati Bolaang Mongondow sudah dua kali diundang tapi tidak hadir, ini mengecewakan rakyat,” tegas Benny.
Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Syarifuddin mengatakan, prinsipnya masyarakat tak boleh dirugikan, apa dilakukan atau diputuskan, yang terbaik dan meredam adanya potensi konflik.
Mekanisme ganti rugi jika menggunakan APBD sesuai putusan peradilan dan mekanisme UU, ini menjadi tanggung jawab Pemda Bolaang.
Jika pemerintah pusat dapat membantu dan sesuai mekanisme kenapa tidak. Itu perlunya pertemuan seperti ini. Mengenai rencana Peninjauan Kembali menjadi hak Bupati.
“Disarankan agar dipertimbangkan kembali. Sebisa mungkin melalui proses damai dengan angka ganti rugi Rp 52 miliar dan pembebanan dapat dibantu pemerintah pusat. Kalau secara hukum dimungkinkan angka ini bisa didiskusikan,” terang Syarifuddin.
Kuasa Hukum Masyarakat korban ganti rugi tanah UPT itu, Limson Nainggolan menuturkan, putusan hukum sudah inkrah, tidak perlu lagi membicarakan hal-hal di luar keputusan hukum, dan pemerintah jangan mengambil sikap yang dapat merugikan masyarakat.
Putusan MA sudah inkrah sejak 2014. Jangan kami dipermainkan, kami tidak mempersoalkan apakah yang harus membayar pusat atau pemerintah daerah. Yang jelas, ini menyangkut nasib 1.114 KK dan lebih dari 5.000 orang termasuk ahli waris yang dirugikan. “Kami akan sampikan hasil rapat ini kepada masyarakat,” ucap Limson.
Menutup Rapat, Ketua Komite I Benny Rhamdani mengajak semua pihak berbesar hati, karena saat ini sedang dicarikan solusi yang terbaik. Terutama warga masyarakat yang menjadi korban agar tidak menimbulkan konflik-konflik baik vertikal maupun horisontal.
“Kami terus mendukung perjuangan masyarakat apalagi yang hak-haknya dirampas. Jangan sampai negara tidak hadir dalam membela kepentingan hak-hak rakyat. Ini terus kami perjuangan dan kawal,” demikian Benny Rhamdani. (akhir)