Jakarta — Anggora Badab Legislatif (Baleg) Firman Subagyo mengatakan dalam pembuatan Undang-undang (UU) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak lagi mengejar kuantitas (jumlah) seberapa banyak RUU yang harus disahkan dalam satu periode, melainkan lebih mengedepankan kualitas UU yang dihasilkan.
“Kita harus hati-hati dalam pembuatan UU. Jangan sampai UU yang sudah lama dibahas dan disahkan kemudian di batalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena bertentangan dengan UU lainnya, ”kata Firman Subagyo dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema: Menakar Ketercapaian Target RUU Prolegnas Prioritas Tahun 2023, di Media Center DPR, selasa (7/2/2023)
Menurut politisi Golkar ini, tidak sedikit UU yang sudah dianggap DPR dan Pemerintah berkualitas kemudian dibatllan MK karena kalah dalam Judicial Rievieu (JR) yang diajukan masyarakat.
”Nah ini yang tentunya menjadi dorongan, menjadi salah satu motivasi kami, kenapa kami tidak sepakat bahwa untuk pembahasan undang-undang itu jangan ditargetkan bobot prosentasenya atau jumlahnya, tapi justru kualitas undang-undang itu sendiri,’kata Firman Subagyo.
Oleh karena itu, lanjut Firman, sikap kehati-hatian diperlukan dalam pembahasan RUU. misalnya yang saat ini sedang dibahas adalah RUU POM yang merupakan inisiatif DPR.
Dalam pembuatan UU juga menurut Firman Subagyo DPR harus refresif, lebih progresif dan bila perlu recolusioner. Misalnya kenapa komisi IX tidak memasukkan yang terkait pengaturan rokok Vape, karena rokok Vape ini di luar negeri di beberapa negara dilarang, karena indikasinya mengandung narkoba.
”Saya keras untuk melakukan itu, Alhamdulillah saya sebagai sekjen granat, saya menyampaikan hal-hal seperti itu dan kemudian akhirnya polisi betul melakukan tindakan penggerebekan dan diketemukan akhirnya baru teman-teman komisi IX sadar pentingnya diatur dan BP POM yang awalnya juga menolak,’jelasnya.
Menurut Firman, DPR jangan ngikuti kemauan pengguna undang-undang. Sebab DPR punya kewenangan penuh untuk bikin regulasi selama itu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, untuk melindungi hak-hak warga negara harus dibuat
”Jadi bukan karena berapa persentase yang bisa disajikan tetapi sampai seberapa jauh kualitas undang-undang itu bisa diimplementasikan dan tidak di JR”katanya.
Soal banyaknya RUU yang molor dalam peahasannya sehingga harus beberapa kali dijadwal ulang, Firman mengakuinya dan menjadi perhatian Baleg.
Menurut Firman, ada aturan yang membatasi berapa lama RUU itu dibahas. Kalau dulu dibatasi dalam dua masa sidang. Sekarang dirubah menjadi tiga masa sidang.
”Tapi faktanya kan kadang-kadang ada undang-undang yang sampai 10 kali perpanjangan enggak selesai, ini kan membuang energi, membuang waktu,’jelas Firman. .
Harusnya kendala-kendala seperti ini bisa diatasi, kalau memang DPR konsisten dengan regulasi yang ada yang dibuatnya. Artinya, begitu tiga kali masa sidang dan itu tidak bisa dilanjutkan, ya dihentikan.
”Harusnya begitu, kita bikin ulang lagi, tapi ini kan perpanjang terus dan akhirnya banyak waktu kita yang tersita, ”katanya.
Selain itu molornya pembahasan RUU karena adanya pandangan yang berbeda antara DPR dan pemerintah terhadap satu norma atau pasal. Biasanya ini di deadlock.
Selain itu di internal DPR sendiri ada yang namanya 9 fraksi, ketika kadang-kadang fraksi kepentingan politiknya berbeda, maka itu menjadi sesuatu yang menghambat dan proses.
Karenanya Fitman mengusulkan ketika undang-undang sudah dibahas dengan pemerintah maka sikap DPR itu satu, tidak ada lagi sikap fraksi. Sikapnya adalah sikap DPR dengan sikap pemerintah.
”Nah ini yang masih tidak dipahami oleh para anggota dewan terutama anggota yang baru-baru bahwa ketika kita sudah masuk pada tahap pembahasan, DIM itu hanya dua, keputusan MK juga seperti itu DIM itu hanya ada dua, DIM pemerintah dan DIM daripada DPR,’katanya. (ar)