Jakarta, beritalima.com |- Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani dorong Pemerintah turun tangan membantu tangani kasus kepailitan pabrik tekstil PT Sri Sri Rejeki Isman (Sritex),. Netty meminta Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) ikut membantu, karena Jika dibiarkan tanpa penanganan serius, akan berimbas pada pemutusan kerja terhadap 45.000-50.000 karyawan Sritex.
Tak hanya itu saja, ia menilai kepailitan Sritex juga akan mengancam stabilitas ekonomi dalam negeri. Perlu diketahui, Sritex merupakan salah satu perusahaan manufaktur yang bergerak di bidang tekstil terbesar di Indonesia. Dalam satu tahun, dalam kondisi optimal, perusahaan ini bisa memproduksi 1,1 juta bal kain.
PT Sritex yang berdiri sejak 1966 berpusat di Sukoharjo, Jawa Tengah, memiliki jangkauan pasar yang sangat luas, mencakup lebih dari 100 negara di berbagai benua seperti Australia, Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika. “Saya sepakat dengan teman-teman Komisi IX DPR bahwa pemerintah harus turun tangan memberikan solusi atas masalah (Sritex) yang membayangi 45.000-50.000 pekerja di Sritex,” tambah Netty.
Karena dibelakang para pekerja tersebut ada puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu anak, istri, atau keluarga yang juga harus dipikirkan nasibnya bila terjadi PHK massal. Politisi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) itu mendorong segenap alat pemerintah terkait untuk meninjau ulang setiap regulasi perdagangan dan ketenagakerjaan.
Menurutnya, peninjauan ulang ini sangat krusial supaya regulasi yang dibuat bisa memberikan jaminan perlindungan efektif kepada perusahaan dalam negeri sekaligus para pekerjanya. Sebab, berdasarkan laporan yang ia terima, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor telah memukul seluruh industri tekstil di Indonesia.
Kebijakan ini menyebabkan barang impor masuk tanpa persetujuan teknis (pertek) sehingga barang-barang impor termasuk tekstil menjajah pasar Indonesia. “Marilah kebijakan ini mengedepankan kemampuan dan sumber daya dalam negeri. Kalau di kemudian, kita mendengar ada impor yang masuk ke Indonesia, nah kebijakan itu apakah seharusnya dicabut atau direvisi,” tanya Netty.
Jurnais: Rendy/Abri