JAKARTA, Beritalima.com– Masih sering terkendala pasokan gas untuk keperluan produksi listrik. Salah satunya yang ditemukan Komisi VII DPR RI dalam Kunjungan Kerja (Kunker) spesifik ke Perusahaan Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Cilegon, Provinsi Banten, Kamis (3/12).
Dalam Kunker spesifik tersebut, kata politisi senior Komisi VII DPR RI, Dr H Mulyanto, ditemukan pasokan gas untuk keperluan produksi listrik masih terkendala. PLTGU Cilegon misalnya, hingga saat ini masih belum ada kejelasan jaminan alokasi pasokan gas jangka panjang.
Kebutuhan gas PLTGU Cilegon 110 BBTUD. Namun, yang dapat dipenuhi Perusahaan Gas Negara (PGN/Persero) dan PHE OSES hanya sekitar 55 persen dari total kebutuhan sehingga masih terjadi defisit gas 50 BBTUD. Alokasi gas dari PHE OSES, yang sekitar 30 BBTUD tersebut berakhir tahun depan.
Menyikapi kondisi tersebut, Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI bidang Industri dan Pembangunan itu mendesak Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjamin ketersediaan gas buat kelancaran industri nasional atau dalam negeri sebelum ekspor.
Wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten tersebut menagih janji atau komitmen Pemerintahan Jokowi yang memprioritaskan pasokan gas buat kebutuhan domestik agar industri dalam negeri (nasional-red) serta pembangunan ketahanan pangan dapat tumbuh dan menghasilkan efek pengganda (multiflyer effect) bagi pembangunan nasional.
“Tanpa komitmen tersebut, industri termasuk juga pembangkit listrik yang bergantung kepada sumber gas akan jalan terseok-seok atau terkendala produksi. Ini tidak bagus buat masa depan industri kita serta dampaknya bagi pembangunan nasional secara umum,” kata Mulyanto.
Mulyanto di hadapan pimpinan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Dirjen Listrik, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), PLN, PGN dan GM PLTGU dalam kunker spesifik tersebut mengatakan, Pemerintahan Jokowi jangan hanya memandang gas sebagai komoditas ekonomi yang dapat diperdagangkan atau diekspor.
Gas harus dilihat sebagai Sumber Daya Energi yang tidak dapat diperbaharui sehingga harus dioptimalkan untuk menunjang pembangunan nasional. Penggunaan gas untuk keperluan industri dalam negeri harus dioptimalkan agar dapat meningkatkan nilai tambah dan menghasilkan efek pengganda bagi pembangunan nasional. Ini harus menjadi perhatian utama Pemerintah. “Paradigma gas sebagai modal pembangunan sebenarnya sudah tercantum dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN),” sebut Mulyanto.
Dia menilai ketimpangan alokasi distribusi gas untuk keperluan dalam negeri dan ekspor sangat mengkhawatirkan. Sebab kendala kekurangan pasokan gas tidak saja dialami PLTGU Cilegon tapi juga terjadi di industri pupuk. Karena itu, kata Mulyanto, kondisi ini harus disikapi dengan cermat dan cepat sebab kalau dibiarkan akan menggangu kelancaran pertumbuhan ekonomi nasional. “Kalau perlu kita stop ekspor gas. Pemerintah jangan hanya obral janji, namun harus konsisten ditepati,” tegas Mulyanto.
Untuk diketahui nilai ekspor gas nasional 2011 tercatat 23 milyar USD (surplus 21.6 milyar USD) dan terus menurun sampai 10 milyar USD (surplus 7.4 milyar USD) di 2018. Data Dirjen Migas Kementerian ESDM, produksi gas 2020 diproyeksikan 6,028 MMSCFD, terus meningkat sampai 2025 menjadi 7,102 MMSCFD. Tahun ini diperkirakan ekspor gas 1,999 MMSCFD (atau 33 persen dari produksi) dan diperkirakan akan menurun 2025 menjadi 1,236 MMSCFD (atau hanya 17.4 persen dari total produksi. (akhir)