Dukung Kemen PPPA, Ning Lia: Tolak Lost Generation Dengan Patuhi Prokes

  • Whatsapp

SURABAYA, beritalima.com | Seperti kita ketahui, bahwa Pemerintah menargetkan sekolah tatap muka akan mulai dibuka setelah vaksinasi terhadap guru dan dosen selesai dilaksanakan pada Juni 2021 mendatang. Wacana ini direspon positif bagi banyak pihak, diantaranya Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Lenny N. Rosalin dengan tetap menghimbau protokoler kesehatan, seperti memakai masker sendiri-sendiri dan rajin cuci tangan.

Dalam program Trijaya Hot Topic Pagi Kamis (25/2/2021). Lenny juga mengatakan bahwa infrastruktur pendukung juga harus memadai. Seperti ada beberapa siswa atau siswi yang ke sekolah naik sepeda, angkutan umum atau jalan kaki, mereka harus dihimbau agar tidak selalu berkerumun saat menggunakan kendaraan-kendaraan menuju sekolah.

Pentingnya tatap muka bukan tanpa alasan. Dijelaskan dalam survery Kemen PPPA selama September dan Oktober tahun lalu, bahwa banyak siswa dan siswi yang mengalami depresi selama pandemi, hal ini diakibatkan siswa dan siswi harus tetap berada di rumah, tidak bertemu dengan teman-teman sekelasnya, dan tidak bisa berinteraksi langsung dengan guru. Ia berharap nantinya saat sekolah sudah dibuka, akan mengurangi tingkat depresi dari para siswa dan siswi.

Dari kalangan aktivis millennial, yaitu Dr. Lia Istifhama, hal ini merupakan wacana baik yang harusnya disikapi positif dan didukung semua pihak.
“Saya pernah baca berita, bahwa pemerintah sempat memunculkan wacana rencana tatap muka di awal 2021. Namun alih-alih terealisasi, yang ada malah beberapa pihak yang kontra dan menyalahkan pemerintah dengan alasan tidak peduli kesehatan anak-anak. jujur saya sebagai ibu dari dua anak dan warga negara Indonesia, heran dengan sikap orang-orang yang seakan-akan garang bersuara tapi tidak berpikir holistik”, jelas Tokoh Muda Inspiratif Jatim versi FJN ini.

“Holistik dalam hal ini adalah pentingnya kita berpikir banyak aspek sebelum berbicara. Cek berbagai fakta yang tidak bisa dimunafikan. Pemilukada 2020 lalu menimbulkan banyak kejadian kerumunan massa. Apa kemudian mereka yang berkerumun saat itu lantas kena Covid 19 dan mati bergelimpangan di pinggir jalan? Terus cek juga mall-mall yang semakin kesini, semakin ramai pengunjung. Ada yang kemudian sakit sesak nafas atau kena gejala Covid hanya karena mereka sekian jam berbelanja? Juga cek fakta-fakta lapangan lainnya. Yang penting kan anak-anak sekolah dengan prokes berjalan”, tambahnya.

“Apalagi, pemerintah sudah melakukan sedemikian cara untuk menekan Covid 19. Saya kira pemerintah sudah berhasil, kok. Kalau kita masih tidak puas, bagaimana pemerintah bisa membuat kebijakan yang adaptif dengan kebutuhan masyarakatnya? Terutama kebijakan terkait masa depan generasi muda”.

“Banyak pihak yang khawatir terjadinya lost generation. Generasi yang hilang akibat Pendidikan dan ilmu tidak diserap secara optimal. Ini fakta yang sangat fakta, yah. Banyak lho, anak-anak yang kecanduan gadget lalu mengalami telat bicara, males gerak, obesitas, males berpikir apalagi mikir hitung-hitungan. Banyak anak juga yang mengalami problem psikis karena tidak mau diganggu saat main game online. Itu namanya apa lagi kalau bukan konteksnya kesehatan mental, mata dan psikis?”, jelas Ketua III STAI Taruna Surabaya.

“Sangat disayangkan jika aspek kognitif dan pertumbuhan anak-anak, terutama usia PAUD, TK, SD, diabaikan oleh kita yang sekarang ini generasi dewasa. Karena kedewasaan kita dapat terbukti saat kita mikir generasi anak-anak. Jangan kita yang orang tua, cuma mikir anak kita sendiri, tapi cuek dengan anak tetangga yang jadi “aneh” gara-gara gadget. Ingat ya, banyak lho anak-anak yang juga terpengaruh sikap-sikap yang gak bener. Sebagai contoh, konten anak lelaki dengan gaya genit.”

Lebih lanjut, Lia berharap budaya pembatasan gadget atau gawai untuk anak-anak diberlakukan lagi.

“Dulu tahun 2017 ramai menjadi perhatian public agar ada pembatasan gadget atau gawai. Direkomendasikan oleh Akademi Pediatri Amerika saat itu, bahwa waktu maksimal bagi anak usia 2-5 tahun untuk bersentuhan dengan gawai hanya 1 jam per hari. Itu pun orang tua harus memastikan anak menonton program berkualitas tinggi. Sedangkan anak berusia 18 bulan ke bawah tidak direkomendasikan bersentuhan dengan gawai sama sekali. Jadi saat itu literasi, yaitu menulis dan membaca, serta permainan non gawai menjadi penting untuk diinternalisasi sebagai kebiasaan anak-anak. Sekarang apa, coba?”, pungkas Sekretaris MUI Jatim tersebut.

beritalima.com

Pos terkait