beritalima.com | Peran serta dukungan media massa sangat dibutuhkan dalam upaya penanganan kasus kekerasan seksual. Salah satu bentuk solidaritas media terlihat dalam pemberitaan kasus terbaru dugaan pemerkosaan terhadap tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, yang dilakukan ayah kandungnya sendiri.
Media pun ramai-ramai mempublikasikan ulang pemberitaan yang sebelumnya hilang dari portal media yang meliput kasus tersebut. Pemerhati media Firmansyah Syamsi menyatakan, sudah seharusnya media menggalang aksi solidaritas serta dukungan bagi korban kekerasan seksual.
Ia memuji peran media yang menyajikan berita berkualitas, sebagaimana publikasi liputan atas kasus kekerasan di Luwu Timur. “Solidaritas antarmedia ini perlu dilakukan kembali, hal ini penting karena baru pertama kali terjadi di Indonesia, bagaimana media saling bersolidaritas dalam menghadapi masalah seperti akses diserang secara digital,” kata Firmansyah dalam diskusi serial kedelapan Bedah Pemikiran Zakat bagi Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, yang diselenggarakan PSIPP ITBAD dan Lazismu, Jumat (15/10/2021).
Upaya positif lainnya seperti menggaungkan gerakan Zakat bagi Korban Kekerasan juga patut mendapatkan dukungan dari media. Firmansyah juga meminta industri media agar tidak memberikan ruang bagi pelaku kekerasan seksual ataupun narasumber yang tidak memiliki pemahaman gender yang baik.
“Orang-orang yang bermasalah, pernyataannya kontroversial dan bias gender seharusnya tidak usah diundang di stasiun televisi. Ini patut kita kritisi, harus ada perspektif atau keberpihakan terhadap korban, bagaimana perasaan korban terhadap pelaku yang bahkan mampu tertawa di layar televisi,” imbuhnya.
Kasus pemerkosaan di Luwu Timur merupakan satu dari banyak kasus kekerasan yang terjadi ditengah masyarakat. Sekretaris Majelis KUPI Masruchah menyatakan kekerasan tidak lepas dari relasi kuasa yang timpang. Tingginya angka kasus kekerasan patut menjadi perhatian bersama.
Dalam konteks kasus tersebut, Masruchah menjelaskan sang ibu dan ketiga anak perempuannya masuk kategorisasi fakir miskin. Sebab mereka berada dalam posisi lemah dan dilemahkan, serta dimiskinkan oleh keadaan.
Masruchah menjelaskan, sang ibu sudah berupaya keras memperjuangkan keadilan hak hidup atas anak-anaknya. Oleh karena itu, dalam konteks fii sabilillah, Masruchah menegaskan ibu dan ketiga anak perempuannya berhak mendapatkan bagian zakat karena mereka merupakan korban kekerasan yang dilemahkan.
“Dalam perspektif sisterhood kepada korban, didalamnya termasuk isu affirmatif action, yaitu bagaimana kita memberikan empati kepada korban, merasakan penderitaan mereka, bagaimana kita memanusiaan mereka sebagai manusia, serta turut memulihkan korban. Selain mereka punya akses, mereka juga bisa mendapatkan manfaat sebagai manusia, mereka bisa sekolah, mendapatkan manfaat bekerja serta punya kontrol,” ujar Masruchah.
Lebih jauh Masruchah menyatakan dalam konteks kebijakan negara, langkah PSIPP melakukan gerakan penggalangan zakat bagi korban kekerasan dan terbitnya buku karya Yulianti Muthmainnah menjadi bentuk perjuangan atas hak-hak perempuan dan anak korban kekerasan, yang sesuai dengan mandat sustainable development goals (SDG’s).
“Saya kira bagian dalam buku ini penting mendorong seluruh warga negara khususnya perempuan dan anak korban agar menjadi pertimbangan Negara, ormas keagamaan lainnya juga penting belajar dari buku ini,” pungkasnya.
Memberdayakan Korban melalui Zakat
Potensi zakat yang dikeluarkan umat Islam di Indonesia sangat besar. Apabila dana ini dialokasikan bagi pemberdayaan perempuan korban kasus kekerasan, maka mereka dapat berdaya dan mandiri kedepannya. Optimisme ini diungkapkan oleh Dosen ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Siti Maryama.
Menurutnya salah satu faktor perempuan mudah dilecehkan dan menjadi sasaran kekerasan karena seringkali dianggap lemah dan tidak berdaya. Ketidakberdayaan secara finansial juga berpotensi memicu kekerasan terjadi.
“Melalui zakat ini juga bisa dimanfaatkan agar mereka bisa bertahan dan mandiri. Saya berkeyakinan jika mereka mandiri, tidak akan disepelekan. Kalau mereka pintar, tidak akan ada yang semena-mena menzalimi dan menyepelekan,” terangnya.
Sementara itu, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Alai Najib mengingatkan perlu adanya pemihakan bagi korban kekerasan. Salah satunya melalui ijtihad memasukkan unsur korban kekerasan kedalam golongan penerima zakat.
Menurut Alai Najib, zakat bisa menggerakkan takaful ijtima’i atau jaminan sosial melalui ikatan solidaritas umat Islam. Ia mendorong ijtihad sosial untuk pemanfaatan zakat yang lebih luas melalui interpretasi makna teks yang diperlebar. Misalnya, dalam konteks riqab yang dinilai sudah tidak relevan dengan jaman sekarang.
Di Muhammadiyah, Alai menjelaskan kata riqab dapat dikontekstualisasikan dengan fenomena para pencari suaka politik, atau para korban bencana alam. Menurutnya golongan tersebut berhak mendapatkan perlindungan serta manfaat dari zakat.
“Saya melihat sebenarnya ini bisa dimaknai ulang di masa sekarang ini, misalnya ada perlakuan bagi buruh kasar dilakukan oleh majikannya,” ujar Alai Najib.