JAKARTA, Beritalima.com– Wakil rakyat di Komisi XI DPR RI yang membidangi keuangan dan perbankan, Ecky Awal Muharam mengingatkan pemerintah akan beban bunga utang yang makin bertambah.
Menurut Ecky, Anggaran Pendapat Belanja Negara (APBN) banyak habis dipakai untuk membayar bunga utang. Di outlook APBN 2018, pos pembayaran bunga utang Rp249 triliun dan akan bertambah menjadi Rp275 T dalam RAPBN 2019.
Dikatakan, APBN sudah tidak sehat. Angka ini nilainya fantastis, karena sudah menjadi pos belanja terbesar setelah belanja rutin. Lebih besar dari belanja modal, belanja sosial, dan belanja subsidi.
“Proporsi pembayaran bunga terhadap total belanja negara pun makin meningkat. Di akhir pemerintahan SBY, proporsi bunga utang terhadap belanja pemerintah pusat hanya 11,1 persen, sekarang sudah 17,2 persen,” ungkap Ecky di Gdung Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (29/8).
Dikatakan, beban bunga ini mengalami lonjakan karena pemerintahan Jokowi sangat banyak berutang. Karena itu, pemerintah harus menjelaskan kondisi utang secara utuh ke publik.
“Misalkan, memang ada Rp396 triliun utang yang dilunasi tahun ini. Namun, perlu diingat net pembiayaan di outlook APBN 2018 dalam bentuk penerbitan SBN adalah Rp388 triliun. Artinya jumlah utang baru yang ditarik sekitar Rp784 triliun,” ungkap Ecky.
Menurut catatan, tahun lalu pemerintah melunasi utang SBN Rp284 triliun, tetapi menarik utang SBN baru Rp726 triliun. Sedangkan tahun sebelumnya, pemerintah melunasi Rp254 triliun, tetapi menambah Rp660 triliun. Karena itu, selama pemerintahan Jokowi dari tahun 2015-2018, stok utang pemerintah dalam bentuk SBN bertambah Rp1.600 triliun.
Atas data itu, kata Ecky, Indonesia sudah nyaris masuk dalam jebakan utang (debt trap) karena Indonesia berutang sekedar untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang sebelumnya.
“Ujung-ujungnya yang menikmati adalah para investor, khususnya asing yang menerima pembayaran bunga utang tiap tahunnya. Sebagai catatan, surat utang negara kita yang hampir separuhnya dikuasai asing. Ini juga berbahaya untuk stabilitas ekonomi dan nilai tukar rupiah,” demikian Ecky Awal Muharam. (akhir)