Oleh : Dede Farhan Aulawi (Ketua Persatuan Mata Elang Indonesia)
Menarik untuk menyimak sepak terjang seseorang sekelas Edward Joseph Snowden, atau publik lebih mengenal dengan sebutan Snowden saja. Ia membuka mata dunia dalam menguak tabir rahasia dan sensitifitas informasi intelijen sekelas CIA yang selama ini diilustrasikan sebagai agen rahasia yang super hebat. Snowden memiliki usia yang relatif masih muda karena ia lahir tanggal 21 Juni 1983. Ia merupakan mantai pegawai Central Intelligence Agency (CIA) yang menjadi kontraktor untuk National Security Agency (NSA) sebelum membocorkan informasi program mata-mata rahasia NSA kepada pers.
Hal yang menarik adalah dasar pertimbangan kenapa ia sampai berani membocorkan informasi – informasi rahasia kepada publik, padahal sebelum ia terpilih menjadi pegawai CIA tentu telah melewati proses seleksi dan screening yang super ketat, serta tentu dilantik di bawah sumpah. Alasan dasar yang terungkap dari pernyataannya adalah karena ia menganggap ada tindakan berlebihan oleh pemerintah AS dalam memantau aktivitas warganya (AS). Intinya ia tidak setuju dengan tindakan tersebut, maka kondisi psikisnya melawan dengan berbagai tindakan yang tentu ia anggap benar. Ia tidak peduli lagi dengan resiko tindakan yang ia lakukan menyebabkan hubungan luar negeri Amerika Serikat dengan beberapa negara di Eropa seperti Prancis dan Jerman menjadi terusik.
Kegusaran ia dengan sepak terjang CIA dalam memantau warganya, ia lawan dengan cara membuat sebuah buku yang menjadi karya fenomenalnya, yaitu “Permanent Record” yang ia terbitkan tanggal 17 September 2019. Dalam buku tersebut, Snowden tidak hanya membahas program mata-mata pemerintah AS, ia juga menceritakan rahasia ketika bekerja di CIA. Tentu saja buku tersebut dalam perspektif pemerintah AS tidak dibenarkan, sehingga pemerintah AS menggugatnya atas tuduhan pelanggaran perjanjian kerahasiaan (non-disclosure agreement) dengan CIA dan NSA. Inilah problem kerahasiaan yang harus dijaga ketika disandingkan dengan pertentangan hati nurani seseorang ketika melihat sepak terjang lembaganya sudah keluar dari platform kepatutan menurut subjektivitas penilaiannya. Snowden tentu sadar bahwa semua informasi intelijen sifatnya rahasia, bahkan setiap agen intelijen tidak boleh memberitahu keluarganya tentang pekerjaan yang mereka sudah, sedang dan akan dikerjakan. Lebih dari itu keberadaan atau posisinya pun dalam beberapa hal harus dirahasiakan. Tetapi ketika hati nurani berkata lain, akhirnya Snowden bertindak yang bertolak belakang dengan norma kepatutan dan kewajiban seorang intelijen. Snowden effect ini sesungguhnya bukan satu – satunya, hanya saja yang lain tidak seheboh yang ia lakukan. Mungkinkah akan muncul Snowden – snowden lain ? Tentu sejarah yang akan membuktikannya.
Sepak terjang Central Intelligence Agency (CIA) selama ini sering dikaitkan dengan berbagai peristiwa dunia. Tidak saja soal aktivitas di negaranya, melainkan justeru sepak terjang di luar negeri bahkan dinilai sering terlibat dalam pergantian rezim di negara lain. Foreign Policy mencatat CIA terlibat dalam pergantian rezim di Amerika Selatan hingga Iran.
Sebagai lembaga intelijen, CIA tentu memiliki banyak rahasia yang tidak boleh dipublikasikan karena karakteristik dari informasi intelijen itu sendiri memang bersifat rahasia. Sensitifitas informasi intelijen hanya boleh diketahui oleh orang – orang tertentu saja, terutama dari kalangan policy maker. Sebab output informasi intelijen akan keluar berupa kebijakan ataupun perintah. Itulah sebabnya dalam ilmu intelijen, ada kontra intelijen. Jika ada spionase maka akan ada kontra spionase. Teknik rekayasa intelijen akan mengeluarkan konsep rancang bangun infrastruktur intelijen dengan berbagai skenarionya. Termasuk exit strategy jika kondisi lapangan di luar skenario yang didesain. Improvisasi tentu dibolehkan sepanjang tidak keluar dari skenario utama, dan ada izin dari pimpinan.
Lembaga intelijen biasanya memiliki platform digital sendiri untuk menjamin lalu lintas informasi classified alias rahasia tidak bocor kemana – mana. Setidaknya resiko kebocoran bisa diminimalisir dengan segala perangkatnya. Lihat saja bagaimana CIA memiliki jalur “google”, “facebook”, “wikipedia” dan internet sendiri untuk menjamin kerahasiaan tadi, terutama dalam hal menyediakan infrastruktur komunikasi para agen intelijen terkait dengan informasi mengenai tim agensi, proyek, dan misi. Bahkan tersedia internal Google yang mengizinkan para agen melakukan pencarian di jaringan rahasia yang luas.
Dalam buku Permanent Record-nya, Snowden juga mengungkapkan bahwa selalu ada agen CIA yang bekerja di Kedutaan Besar AS di luar negeri, yang mana salah satu tugasnya adalah mengurus kebutuhan teknis internal, mulai dari jaringan komputer hingga CCTV. Mereka tergabung dalam Technical Information Security Officers (TISO). Agen CIA yang bekerja sebagai TISO juga menyembunyikan identitasnya dengan melakukan penyamaran diplomatik (diplomatic cover). Biasanya di bawah identitas “atase”. Para TISO ini juga berperan untuk menghancurkan segala barang bukti jika Kedubes AS diserang.
Dalam beberapa kasus, sepak terjang CIA juga dikaitkan dengan sejumlah kontroversi, seperti interogasi yang disertai penyiksaan (enhance interrogation), penangkapan dan penahanan ekstrayudisial (extrajudicial atau extraordinary rendition) hingga bentuk pelanggaran lainnya. CIA sebenarnya merupakan intelijen bagian luar negeri (foreign intelligence), terutama tentang aktor atau negara asing yang dapat menyebabkan “kerugian” bagi AS. Sementara untuk memonitor warga di dalam negeri, tanggung jawabnya ada pada Biro Investigasi Federal (FBI) yang dianggap sebagai lembaga penegak hukum dan intelijen domestik AS, yang dibantu oleh Badan Kriptografi dan Sandi Negara (NSA).