Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A)
Harus diakui, bahwa cikal bakal tumbuhnya sistem ekonomi Islam di Indonesia, secara foermal, diawali dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia tanggal 1 November 1991. Dengan diprakarsai oleh majelis Ulama Indonesia, bank yang mulai beropreasi pada tahun 1992 ini, tampaknya lahir pada saat yang tepat. Dengan dukungan para cendekiawan Muslim, Bank–yang presiden direktur pertamanya dijabat oleh Achmad Kusna Permana–ini dengan mudah mendapat dukungan luas juga berkat tangan dingin orde baru yang menjelang kejatuhannya memang terkesan pro Umat Islam.
Bank itu disepakati bernama bank muamalat dan bukan bank syariah. Sebab, istilah syariah waktu itu memang menjadi persoalan yang agak sensitif. Penyematan kata “syariah” untuk menamai bank–yang dibentuk berkat lobi Prof. BJ Habiebie (menteri kesanyangan Pak Harto sekaligus Ketua ICMI) kepada Presiden Soeharto waktu itu–dikhawatirkan akan membangkitkan peristiwa sensitif lama yaitu Piagam Jakarta. Memakai kata syariat dikhawatirkan menimbulkan dugaan upaya membangkitkan Piagam Jakarta lagi. Sebagaimana kita ketahui dalam Piagam Jakarta sila pertama Pancasila terdapat 7 kata sensitif yang telah dihapus karena mengundang reaksi keras dari kelompok non Islam yaitu …dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
Akan tetapi seiring dengan arus kebebasan di era reformasi pemakaian kata syariat tampaknya bukan menjadi momok yang menakutkan. Ekonomi Islam yang di Indonesia kemudian disebut ekonomi syariah sejatinya merupakan bagian dari ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Ekonomi syariah berbeda dari kapitalisme, sosialisme, maupun negara kesejahteraan (welfare state). Berbeda dari sistem kapitalisme, sistem ekonomi Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Selain itu, ekonomi dalam kacamata Islam merupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran yang memiliki dimensi ibadah yang teraplikasi dalam etika dan moral syariah islam.
Kehadiran ekonomi syariah semakin mendapat tempat di dalam sistem kenegaraan, ketika negara rupanya juga memikirkannya dari sisi hukum dan penegakannya. Kelahiran UU Nomor 3 Tahun 2006 sebagai perubahan pertama UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (PA) dan dua tahun kemudian lahir UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, merupakan bukti hilangnya syariah phobia itu. UU yang pertama mengatur mengenai penyelesaiannya kasus dan yang kedua mengatur sisi kelembagaannya.
Tambahan kewenangan itu akhirnya memang membuat peradilan yang secara de jure sudah ada sejak tahun 1882 ini sedikit ‘kelabakan’. Di tengah sikap skeptis sebagian orang akan kemampuan aparatnya, Mahkamah Agung terus menggenjot kemampuan para hakimnya. Berbagai model pelatihan digalakkan. Bahkan, Mahkamah Agung pernah mengeluarkan Perma Nomor 5 Tahun 2016 yang pada pokoknya menyaratkan, bahwa hakim yang berhak menangani perkara ekonomi syariah di PA, harus sudah lulus seleksi administrasi, kompetensi, integritas dan pelatihan hakim Ekonomi Syariah. Perma ini tentu tidak hanya berisi kewajiban membekali diri bagi hakim, tetapi sekaligus juga menjawab cibiran sekelompok orang mengenai kompetensi keilmuan hakim PA menangani perkara ekonomi yang nota bene, bagi PA, merupakan barang baru. Betapa prestisiusnya perkara ekonomi syariah ini, sehingga pembicaraan mengenai ekonomi syariah seolah menjadi persoalan mahapenting, mengalahkan diskursus mengenai hukum keluarga yang, di era moderen ini, sejatinya juga masih menyisakan banyak persoalan pelik.
Terlepas dari wacana di atas, di tengah gairah berekonomi “syariahria” ini, pada beberapa tahun terakhir ini ada persoalan yang kalau tidak diwaspadai dapat mengancam eksistensinya. Dinamika politik sejak pemilihian gubenrnur DKI dan berlanjut sampai 2 kali musim pimilihan presiden terakhir, bangsa Indonesia seolah terbagi menjadi 2 kutup ekstrim: kelompok Islam garis keras dan kelompok nasionalis ( Islam nasionalis, non Islam, non Islam garis keras). Golongan pertama sering menunjukkan penampakan dengan aksi-aksi ‘monumentalnya’. Kelompok ini pada pokoknya menginginkan formalistik agama. Indonesia yang mayoritas muslim tidak boleh ada pemimpin non Islam atau orang Islam yang tidak pro (syariat) Islam. Ketika negeri ini banyak bencana, banyak kemelut politik, dan terakhir pandemi Covid-19, mereka seperti mendapatkan momennya untuk melegitimasi keinginan politiknya. Berbagai bencana dan kemelut negeri, menurut mereka, adalah akibat murka Allah akibat tidak menegakkan syariat Allah. Sejumlah dalil agama pun mereka kumandangkan di setiap even. Keinginannya mengubah peta politik dengan cepat dan memandang kelompok lain yang Islam seolah bukan Islam lagi (setidaknya oleh mereka disebut kaum munafiqin), membuat mereka, suka atau tidak suka, mendapatkan stigma kelompok radikal. Perjuangan mereka menegakkan syariat Islam, sekalipun menurutnya masih dalam bingkai NKRI, memunculkan kekhawatiran banyak pihak. Pada saat demikian, orang ( non Islam) yang semula sudah mulai ramah dengan idiom-idiom Islam, akibat eksistensi kelompok radikal itu, bukan mustahil berubah. Bahkan, islam phobia yang sudah mulai hilang, akibat sepak terjang mereka, kini ada kecenderungan bangkit kembali. Akibat kemunculan mereka, segala yang berbau syariah kini, menurut mereka mungkin, perlu ditinjau lagi. Beberapa waktu lalu isu perda syariah juga ikut memicu kebangkitan kelompok islam phobia.
Apabila hal demikian tidak diwaspadai oleh negara, para tokoh Islam, dan para pelaku ekonomi syariah, lambat laun bukan mustahil, kesalahpahaman itu, akan menggerus gairah pasar ekonomi syari’ah yang kini memang sedang menggairah ini. Perguruan Tinggi juga akan kena dampaknya. Jurusan baru–akibat jawaban atas kebutuhan pasar yang mulai naik daun–ini lamabat laun juga akan mengalami penurunan peminat. Sebab, mahasiswa yang sedang belajar akan diahantui teror massif dari kelompok yang anti radikalisme tersebut. Tidak sampai di sini, eksistensi PA sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman juga ikutan mendapatkan sorotan. Dulu ketika RUU PA di bahas, banyak kalangan mengkawatirkan kemunculan PA sama halnya menghidupan Piagam Jakarta. Kini mereka itu pun seperti mendapat momen lagi. Mereka seolah seperti mendapat legitimasi, katika tidak sedikit aparat PA, sebagaimana kita lihat di dunia medsos, terindikasi ikutan mendukung faham khilafah atau setidaknya simpati dengannya.
Merespon fenomena tersebut, yang paling penting ialah ketulusan pemerintah untuk memastikan, bahwa secara politik tetap mendukung eksistensi ekonomi syariah. Sikap ini harus dibarengi dengan upaya terus meyakinkan kepada kelompok masyarakat yang anti radikalisme bahwa ekonomi syari’ah berbeda dengan faham khilafah. Ekonomi syariah hanyalah sistem ekonomi yang menjadi salah satu alternatif sistem ekonomi yang muaranya untuk kesejehteraan umat manusia tanpa memebedakan suku, ras, dan agama. Sedangkan khilafah merupakan sistem politik yang memang bertentangan dengan konstitusi kita. Kita bisa berekonomi syariah dengan tetap dalam bingkai NKRI. Orang berekonomi syariah tidak harus lebih dahulu ke kantor MUI untuk mengucap kedua kalimah syahadat atau pergi ke dokter untuk khitan. Kita bisa berekonomi syariah tanpa dengan tetap menjunjung tingga Pancasila dan UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945. Dengan kata lain, kita masih bisa bersistem ekonomi syariah tanpa harus berfaham khilafah. Wallahu A’lam.