SURABAYA – beritalima.com, Majelis hakim PN Surabaya yang diketuai Johanis Hehamony menolak eksepsi yang diberikan penasihat hukum terdakwa. Karena itu, mejelis hakim meminta agar perkara yang dilakukan oleh Alfis Indra dilanjutkan. Serta masuk dalam pokok perkara.
“Majelis hakim menolak seluruhnya eksepsi yang diberikan terdakwa. Karena itu, perkara ini akan tetap dilanjutkan,” kata hakim Johanis saat membacakan putusan sela, di ruang Candra, Pengadilan Negeri Surabaya, Senin (27/9/2021).
Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Nur Rahmansyah dalam persidangan selanjutnya akan menghadirkan saksi dari Kanwil Pajak. “Saksi nanti akan menjelaskan semua. Tapi, nanti akan kami buktikan semua dakwaan itu dalam persidangan,” katanya usai persidangan.
Dalam waktu berbeda, penasihat hukum terdakwa Yusuf Efendi mengatakan, tidak semua yang ditulis dalam dakwaan jaksa itu benar. Ada beberapa sudah direvisi. Tapi tidak ditulis dalam dakwaan. Awalnya memang benar jumlahnya semua Rp 1,9 miliar. Tapi setelah direvisi, tidak sampai segitu lagi,” ungkapnya.
Alfis adalah Direktur PT Antartika Transindo. Perusahaan itu, bergerak dalam bidang usaha forwarding. Yaitu jasa pengurusan angkutan atau transportasi barang antar pulau. Dengan klasifikasi lapangan usaha (KLU) jasa pengurusan transiportasi.
Perusahaan itu akan menerima konsumen yang meminta jasa mereka untuk mengirimkan barangnya. Bila ada modal, perusahaan terdakwa itu yang mengerjakan sendiri. Tapi, kalau tidak, akan diberikan kepada subkon lain. Pembayarannya bisa tunai atau transfer ke rekening perusahaan atau rekening pribadi terdakwa.
Dari kegiatan itu, PT Antartika Transindo menerbitkan faktur pajak, surat jalan dan invoice kepada konsumen. Kewajiban terdakwa, melaporkan dan menyetorkan atas transaksi penyerahan jasa. Selama satu masa pajak dalam Surat Pemberitahuan Pajak Pertambahan Nilai (SPT PPN).
Laporan itu diberikan kepada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Wonocolo. Perusahaan yang dipimpin terdakwa itu, terdaftar sebagai wajib pajak. Dalam proses pembuatan Surat Pemberitahuan Pajak Pertambahan Nilai (SPT PPN) dibuat oleh saksi Shany Yomoginta.
Dia merupakan pegawai di perusahaan tersebut. Pembuatan berkas tersebut berdasarkan faktur pajak keluaran, faktur pajak pemasukan dan lainnya. Tentu, data itu diberikan oleh terdakwa. Setelah Shany selesai membuat, diberikan kembali ke terdakwa untuk selanjutnya ditandatangani.
Sejak, 2011 sampai 2013 perusahaan yang dipimpin terdakwa telah melaporkan faktur pajak yang masuk dari lima perusahaan. Padahal, PT Antartika Transindo tidak pernah melakukan transaksi dengan perusahaan itu. sehingga, faktur pajak yang dilaporkan tidak sebenarnya (fiktif).
Karena fiktif, tidak dapat di kreditkan dengan pajak keluaran PT Antartika Transindo. Tujuan terdakwa memasukkan beberapa perusahaan tersebut ialah untuk mengurangi pajak pertambahan nilai yang seharusnya disetor ke kas Negara.
Faktur pajak yang diterbitkan beberapa perusahaan itu, berasal dari makelar faktur pajak. Terdakwa saat itu meminta agar saksi Herman untuk membelikan faktur pajak tersebut. Herman membelinya dengan harga 30 persen dari nilai PPN yang dibayarkan.
Akibat perbuatan terdakwa yang menggunakan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya (TBTS), menimbulkan kerugian dalam pendapatan Negara berupa PPN sejak 2011 sampai 2013 sebesar Rp 1,9 miliar.
Perbuatan terdakwa, diancam pidana dalam Pasal 39A huruf a Undang-Undang (UU) RI Nomor 6/1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU RI nomor 16/2009 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 5/2008. Tentang perubahan keempat atas UU RI Nomor 6/1983. Tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. (Han)