Oleh:
H. ANHAR NASUTION
Politisi Partai Berkarya
BAK kata pepatah, menepuk air didulang kepercik muka sendiri. Pepatah demikian sangat cocok dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Ya, akhir-akhir ini kita melihat ada gejala yang aneh dalam dunia politik dalam negeri Indonesia. Para elite politik maupun para politisi ‘kagetan’ mengadu nasib didunia Politik.
Mereka mencoba ikut bertarung pada pemilihan legislatif (pileg) 2019. Keikutan mereka mungkin saja karena sudah kelebihan uang, tidak sedikit yang beranggapan atau bermimpi bahwa menjadi ‘Anggota Dewan Yang Terhormat’ lebih mudah mendapatkan uang.
Karena terobsesi bila menjadi anggota dewan tersebut dengan kekuasaan yang dimiliki akan lebih mudah meraup uang, ada pula dari mereka tanpa pikir panjang menjual harta benda yang dipunyai untuk membiayai kampanye dan segala macam untuk memenuhi syahwat politik yang sudah kebablasan seperti saat sekarang.
Akhir-akhir ini kita akrab mendengar teriakan pemilihan umum (pemilu) Curang, KPU Curang Bawaslu Banci dll. Sementara banyak pula peserta pemilu yang berbuat tidak sepantasnya seperti menyogok rakyat untuk mendapatkan suara.
Dari jajaran peserta pemilu yang berbuat curang tersebut juga termasuk politisi kagetan itu, apalagi caleg yang punya segudang pengalaman. Bahkan seperti dikatakan sejumlah politisi senior, boleh dikatakan mayoritas peserta pemilu memang melakukan kecurangan untuk mendapatkan suara rakyat.
Dari awal kapanye saja mereka sudah melakukan kecurangan, apa yang didapat rakyat bila mereka itu terpilih menjadi pejabat negara.
Contoh sederhana saja, saat melakukan kampanye pada kelompok masyarakat di daerah pemilihan (dapil) masing-masing sudah pasti hampir setiap Caleg mengedepankan bahwa dia lah yang paling benar, dia lah caleg yang pasti akan menyuarakan aspirasi rakyat.
Bahkan tidak tertutup kemungkinan akan mengatakan bahwa kompetitor partai lain itu jelek.jahat bahkan sesama kopetitor di partai sendiripun Ikut dijekkan.
Perbuatan saling sikut, Saling hujad tidak bisa dipungkiri dilakukan baik antar partai maupun dgn kawan sesama partai sendiri. Rakyat hanya bisa berkata Nauzubillahminzaliq.
Lebih dari itu, saat-saat di ujung masa kampanye, tidak jarang para celeg melakukan hal-hal sangat memalukan.
Sebut saja, memberi masyarakat dan penyelenggara pemilu sejumlah uang dgn besarannya beragam yang dikenal dengan berbagai istilah, serangan fajar. Bahkan hal ini sudah menjadi harapan masyarakat, siapa yang memberi uang paling besar, dia lah yang dipilih. Tidak jarang kita mendengar istilah “mbil uangnya, jangan dipilih orangnya”.
Nah, disinilah awal kecurangan itu. Bahkan tidak cukup sampai di situ, lebih jauh para caleg yang ‘mabuk kepayang’ dengan segudang uangnya, mereka melakukan pendekatan dengan petugas Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk melakukan cara-cara yang tidak baik untuk memperoleh suara terbanyak di TPS tersebut.
Lebih jauh lagi lobi-lobi dengan Petugas kecamatan, Kabupaten Provinsi sampai Ke KPU Pusat untuk penggelembungan suara nya.Dari cerita itu bolehkah kah kita mengatakan bahwa kita juga telah ikut melakukan kecurangan dalam peristiwa pesta demokrasi sekali lima tahun tersebut ?.
Akan terasa aneh tatkala kegiatan persekongkolan jahat ini menjadi masif dilakukan banyak caleg terutama yang sudah berpengalaman maka cakar cakaran yg dilatar belakangi keserakahan tidak bisa dihindari sehingga muncullah persaingan banyak-banyakan setoran uang kepada oknum-oknum yang menentukan disetiap tinkatan penyelenggara Pemilu itu. Anehnya semua menyalahkan dan menuding dan menuntut penyelenggara pemilu curang dan sebagainya.
Kalau kita mau melihat jauh ke hulunya dari alur cerita pemilu curang ini berawal dari konspirasi busuk para ‘Anggota Dewan Busuk’ yang merumuskan UU Pemilu.
Dari sinilah berawal skenario pemilu curang ini dengan ditetapkannya Parliamentary Threshold (PT) 4 persen dan Presidential Threshold (PT) 20 persen adalah merupakan konspirasi partai-partai besar yang mendominasi DPR RI.
Hal itu diteruskan dengan monopoli pengaruh menentukan Komisioner Penyelenggara Pemilu baik itu KPU maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bahkan tidak tertutup kemungkinan ‘Menentukan para Hakim Agung’ yang akan menduduki Pimpinan di Mahkamah Konstitusi.
Rangkaian ini di duga kuat telah diatur sedemikian rupa oleh penguasa dan “Pengusaha Hitam” yang didomunasi “partai-partai besar” termasuk partai penguasa yang berkolaborasi untuk melanggengkan kekuasaan dan dominasinya baik di Parlemen maupun di Pemerintahan.
Jelasnya, jika sistem ini akan tetap dipertahan, maka sulit bagi kita untuk menerapkan dan mendapatkan hasil pemilu yang Jujur dan Adil serta menjadikan masyarakat betul berdaulat di negri tercinta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Lebih jauh dengan sistim politik ‘pasar bebas’ yang dianut Indonesia saat ini jelas lebih mengedepankan kapital/uang dan pengusaha hitam yang akan merajai dan memenangkan kekuasaan yang pada akhirnya mengarah kepada Negara Kapitalistik dan Borjuistik yang menginjak-injak harkat dan martabat bangsanya sendiri.
Setelah pemilu usai serta perhitungan suara diumumkan KPU, para caleg yang tidak puas dengan perolehan suara ramai-ramai menggugat hasil pemilu 2019 ke MK dengan berbagai macam bukti dan alasan yang mereka sertakan dalam gugatannya. Alhasil penetapan hasil Pemilu sangat ditentukan oleh Hasil Putusan MK..Masihkah Rakyat Berdaulat atas Bangsa ini???.