Ringkasan Buku
(Terjemahan: Menjelaskan Puisi Esai, Respon atas Visi dan Karya Sastra Denny JA)
Terbit: Juli 2020)
Tebal: 578 halaman
- Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachry, Ignes Kleden, Ashadi Siregar, Leon Agusta, Agus R Sarjono, Jamal D Rahman, Datuk Jasni Matlani, Dr. Paosan Jehwae, Berthold Damshouser, dkk)
PUISI ESAI GOES INTERNATIONAL
Anick HT
Sahabat, inilah buku yang paling lengkap merekam kontroversi seputar puisi esai, genre baru penulisan puisi yang dimotori oleh Denny JA sejak tahun 2012, sejak terbitnya buku Atas Nama Cinta yang memuat lima kisah diskriminasi di Indonesia.
Eksperimen Denny JA tak berhenti, hingga hari ini. Puisi esai terus merambah ke seantero negeri, bahkan hingga ke beberapa negara di Asia Tenggara. Upaya Denny JA untuk menggairahkan dunia sastra relatif berhasil.
Upayanya untuk membuat sastra menjadi milik publik juga terlihat dampaknya. Iapun tak berhenti di situ. Inovasi dan kreasi yang lahir dari puisi esai juga terus digaungkan. Teater, komik, dan film berbasis puisi esai pun telah diproduksi. Ini capaian yang tak kecil.
Salah satu yang menarik dari perkembangan ini adalah: Denny JA tidak hanya mewadahi pihak-pihak yang bersetuju dengan ikhtiarnya. Kaum penolak puisi esaipun dirangkul, bahkan difasilitasinya sebagai bagian dari polemik yang biasa saja. Pro dan kontra justru semakin menggairahkan dunia sastra kita.
Buku ini berisi 44 tulisan. Sebagian adalah semacam kredo, proses kreatif, dan pembelaan Denny JA, sebagian lain adalah analisa para pakar dan maestro sastra tentang puisi esai, plus beberapa review terhadap pemenang lomba puisi esai yang pernah diadakan oleh Jurnal Sajak.
Segala sudut pandang dan pisau analisis digunakan dalam tulisan-tulisan di buku ini. Segala aspek dibedah.
Lima Gagasan Utama Buku
- KEGELISAHAN YANG MENCIPTAKAN KEBARUAN
- PUISI ESAI BERKONTRIBUSI PADA GERAKAN SOSIAL BARU
- PUISI ESAI MELAHIRKAN DIMENSI BARU PADA PUISI INDONESIA MODERN
- BABAK BARU: TERANGKATNYA TEMA YANG TAK BIASA DARI 34 PROVINSI
- MELIHAT DENNY JA SEBAGAI SEORANG PEMIKIR
- REFLEKSI
SATU
Pada awalnya adalah kegelisahan. Terprovokasi oleh kritik yang dilayangkan John Barr bahwa saat ini puisi sulit dipahami publik, sehingga puisi semakin berjarak dengan publik luas, Denny JA melakukan riset untuk mencari basis data kecenderungan pemahaman publik terhadap puisi yang ada saat ini.
Kesimpulannya: publik semakin tidak paham pesan yang dikandung oleh puisi secara umum, bahkan yang berpendidikan tinggi sekalipun.
Sebagai peminat sastra, ketidakpuasan itu membuat Denny JA mencari dan merumuskan sebuah medium yang lebih memahamkan publik tentang pesan yang diangkat, namun tidak kehilangan nuansa fiksi, dramatisasi, dan kedalaman emosi batin yang dikandungnya. Lahirlah puisi esai ini.
Buku pertama puisi esai, Atas Nama Cinta, menjadi contoh konkret bagaimana Denny JA merealisasikan gagasannya. Dan tak main-main, Denny JA bekerja sama dengan Hanung Bramantyo memfilmkan lima kisah dalam buku itu. Ini juga menegaskan salah satu ciri puisi esai: ia adalah puisi panjang dan berbabak.
Hal penting lain dalam puisi esai adalah soal marketing. Gerakan harus dimarketingkan. Ini sekaligus jawaban Denny JA terhadap kritik pedas terhadapnya bahwa puisi esai tidak mengalir alami, melainkan direkayasa dan dimarketingkan. Baginya, ini adalah era ketika marketing sama pentingnya dengan berkarya
DUA
Salah satu bagian penting dari buku ini adalah opini yang ditulis oleh para intelektual dan pakar sastra. Salah satunya adalah Jasni Matlani, penerima SEA Award dari Malaysia.
Ia membandingkan karya Hamzah fansuri dengan karya Denny JA, dari segi pembahasaan maupun isu yang diangkat. Bagi Jasni, puisi esai di tangan Denny JA, jelas maknanya, menumbuhkan kesadaran sosial, mempunyai visi, falsafah, keunggulan, hasanah, dan sesuai dengan tuntutan zamannya.
Selain para sastrawan yang mencoba meletakkan eksperimen Denny JA dalam kancah perkembangan sastra Indonesia, ada Ignas Kleden yang melihat lebih kepada konteks sosial. Bagi Ignas, percobaan Denny JA adalah langkah untuk mengintegrasikan puisi dalam suatu gerakan sosial baru di Indonesia.
Langkah ini telah diambil dengan kesadaran penuh oleh penulisnya, termasuk risiko yang mungkin timbul: dalam pertimbangan literary criticism.
Ada dua segi yang terlihat di sini: integrasi gerakan sosial ke dalam puisi Indonesia, dan integrasi puisi ke dalam gerakan sosial baru.
TIGA
Perjalanan puisi esai semakin menarik ketika Denny JA mempopulerkan tagline “Yang bukan penyair boleh ikut ambil bagian.” Ini adalah bagian dari upaya yang bagus untuk mengembalikan puisi ke tengah gelanggang publik.
Lalu dibuatlah lomba puisi esai oleh Jurnal Sajak, dan menghasilkan satu pengkayaan perspektif terhadap puisi esai.
Dalam tulisannya, Agus R. Sarjono bersemangat menyambut salah satu pemenang lomba, “Mata Luka Sengkon Karta”, yang menggali kasus hukum yang sempat menghebohkan di masa Orde Baru.
Bagi Agus, bentuk puisi esai itu memberi semacam demokratisasi pada peri-kepuisian Indonesia sehingga keragaman tema pun lebar terbuka.
Lebih jauh, Jamal D. Rahman juga mengungkap temuan menarik dengan lomba puisi esai itu. Salah satunya, tema puisi esai bukan saja beragam, melainkan juga memberikan dimensi-dimensi baru pada puisi Indonesia modern, kalau tidak membawa tema yang baru sama sekali.
Puisi esai telah menyajikan tema-tema yang sejauh ini jarang bahkan tak pernah kita temukan dalam puisi Indonesia.
EMPAT
Puisi esai memasuki gerakan baru, menghadirkan cerita berbasis lokalitas dari 34 provinsi di Indonesia. Dalam ulasannya, Agus R. Sarjono menggarisbawahi sesuatu yang penting: kemenarikan tema yang kerap diangkatnya sehingga jika puisi liris dan puisi esai secara estetis keduanya gagal, puisi esai setidaknya masih menyisakan sesuatu yang berharga, yaitu tema.
Ini terbukti pada gerakan menulis puisi esai ini. 176 puisi esai yang ditulis pengarang dari 34 provinsi di Indonesia ini tidak satupun yang bertemakan bukan urusan krusial di daerahnya masing-masing.
Harus diakui tema-tema dan urusan yang diangkat dalam khasanah perpuisian Indonesia selama ini agak terbatas.
Kekayaan dan keberagaman tema tersebut nyaris seluruhnya bermuara pada kepedulian dan kegelisahan yang sama: kerinduan akan Indonesia yang lebih baik.
LIMA
Bagian terakhir dari buku ini memuat tulisan analisis dari Narudin, yang membedah pemikiran Denny JA sehingga mempengaruhi proses kreatifnya, terutama dalam melahirkan seluruh puisi esainya.
Bagi Narudin, Denny JA adalah pemikir postmodern. Secara estetik, puisi esai ialah bentuk “chaotic”, maka otomatis, bentuk puisi esai termasuk bentuk puisi yang berselera posmodern.
Denny JA juga adalah eorang pemikir sosio-dialektis. Pola pikir Denny JA di dalam puisi-puisi esainya bersifat menimbang kembali atau menggugat (anti-tesis) dari tesis yang ada agar tercapai sin-tesis (argumentasi sekaligus solusi problem sosial itu).
Isu-isu kontroversial yang dihadirkan secara tak langsung merangsang munculnya kesadaran kolektif.
Dan Denny JA juga seorang pemikir pluralis. Kata-kata petunjuk (indeksikal) dalam puisi esai ini ialah kata “INTI”, “menyelam”, dan “jawaban”. Apapun agama yang dianut (yang percaya “Tuhan”) atau bahkan seorang ateis (yang tak percaya Tuhan), jika si penganut agama atau si ateis itu menyelam, maka ia akan sampai kepada “INTI”.
REFLEKSI
Mungkin Denny JA adalah orang yang sangat menikmati kontroversi. Sejauh kontroversi itu berada dalam ranah pemikiran, pendapat, argumen, tertulis maupun di media sosial, nampaknya ia akan terima itu dengan tangan terbuka.
Bahkan seakan-akan dari awal dia menyadari betul itu adalah konsekuensi dari gagasan yang dilahirkannya.
Puisi esai tidak bisa dilepaskan dari kontroversi itu. Dalam hal ini, justru itu adalah salah satu keberhasilannya: menjebol kebekuan perbincangan di dunia sastra. Sastra dan perpuisian menjadi perbincangan publik yang hangat, atau bahkan panas.
Tapi Denny JA juga adalah orang yang teguh dengan gagasan yang diyakininya, dan berhasil menunjukkan pada publik bahwa ia konsisten di situ. Puisi esai telah melangkah keluar dari kamarnya, lalu mengembara dan menularkan pengaruhnya kepada ribuan, mungkin jutaan orang di luar sana.
Ia juga berhasil menstimulasi munculnya tema-tema tak biasa yang hampir mustahil keluar dengan karya sastra mainstream yang telah ada sebelumnya.
Dan buku ini merekam hampir seluruh perjalanan itu.***
-000-
Buku Elucidating Essay Poetry, setebal 542 halaman, bisa dibaca, diunduh dan dicetak, melalui link ini:
–