beritalima.com | Secara sederhana, Pemerintahan yang bersih dapat dijelaskan sebagai kondisi pemerintahan yang para pelaku yang terlibat di dalamnya menjaga diri dari perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Korupsi adalah perbuatan pejabat pemerintah yang menggunakan uang pemerintah dengan cara-cara yang tidak legal. Kolusi adalah bentuk kerjasama antara pejabat pemerintah dengan oknum lain secara ilegal pula (melanggar hukum) untuk mendapatkan keuntungan material bagi mereka. Nepotisme adalah pemanfaatan jabatan untuk memberi pekerjaan, kesempatan, atau penghasilan, bagi keluarga ataupun kerabat dekat, sehingga menutup kesempatan bagi orang lain.
Pemerintahan yang penuh dengan gejala KKN biasanya tergolong ke dalam pemerintahan yang tidak bersih, dan demikian pula sebaliknya. Konsep pemerintahan yang bersih dan berwibawa identik dengan konsep Good Governance (pemerintahan yang baik).
Pejabat negara adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada pada lembaga negara yang merupakan alat kelengkapan negara beserta derivatifnya berupa lembaga negara pendukung. Pejabat negara menjalankan fungsinya untuk dan atas nama negara. Yang termasuk dalam pejabat negara menurut Undang-Undang Nomor 5 tentang Aparatur Sipil Negara adalah :
1. Presiden dan Wakil Presiden
2. Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah
4. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
5. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah
6. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc
7. Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi
8. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan
9. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial
10. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
11. Menteri dan jabatan setingkat menteri
12. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh
13. Gubernur dan wakil gubernur;
14. Bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota
15. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2018 naik ke peringkat 4 di tingkat ASEAN setelah berhasil menggeser posisi Thailand yang turun ke posisi 6. Sebelumnya, posisi Indonesia berada di bawah Negeri Gajah Putih. Hasil survei Transparency International mencatat IPK Indonesia pada 2018 naik 1 poin menjadi 38 dari skala 0-100. Sementara IPK Thailand turun 1 poin menjadi 36. Skor IPK Indonesia yang naik 1 poin membuat Indonesia kini berada di peringkat 89 dari 180 negara dari tahun sebelumnya di posisi 96. Sementara Thailand turun ke peringkat 99 dari sebelumnya 96. Adapun Singapura masih menjadi negara paling bersih korupsi di kawasan Asia Tenggara dengan skor IPK 85 kemudian diikuti Brunei Darussalam (63) dan Malaysia (47). Sedangkan di urutan buncit dihuni Kamboja dengan IPK 20.
Tetapi IPK tersebut bukan sebagai tolok ukur keberhasilan pemerintah dalam mencegah terjadinya korupsi di Indonesia. Seperti yang dilansir detiknews.com, mereka yang terkena OTT adalah hakim pada PN Balikpapan atas nama Kayat, panitera Fachrul Azami, dan petugas keamanan (satpam) PN Balikpapan Supriyanto, serta Jhonson Siburian dan Daniel Manurung dan staf Rosa Isabela. Satu lagi adalah warga atas nama Sudaman yang ditangkap di rumahnya atas dugaan keterlibatan kasus yang sama. Mereka diduga terlibat kasus penipuan dokumen tanah yang sidangnya tengah digelar di PN Balikpapan. Hakim disuap untuk membebaskan terdakwa.
Kita dapat melihat dari kasus ini saja, betapa lemahnya moralitas aparat penegak hukum di Indonesia. Memang tidak semua aparat memiliki kebusukan seperti ini tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa realitanya banyak aparat yang melakukannya. Selain aparat, ternyata selama periode 2014-2019, ada sejumlah pejabat negara yang menjadi tersangka korupsi. Sebagian bahkan sudah divonis penjara oleh Pengadilan Tipikor. Mulai dari pimpinan DPR, hingga dua orang menteri di Kabinet Kerja Presiden Jokowi. Kasus korupsi yang melibatkan pejabat ini, telah merugikan negara hingga triliunan rupiah.
Kita semua merasa prehatin dengan maraknya kasus korupsi di Indonesia. Malah bukan sholat saja yang dilakukan dengan berjamaah, korupsipun sudah dilakukan berjamaah. Seperti contonya kasus korupsi berjamaah anggota DPRD Kota Malang. KPK telah menetapkan 41anggota DPRD Kota Malang sebagai tesangka kasus dugaan suap dari Wali Kota nonaktif Moch Anton. Kini, para anggota DPRD yang menjadi tersangka korupsi massal itu telah diganti seluruhnya.
Sebagai warga negara yang baik, sudah selayaknya kita bisa menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang telah ditanamkan oleh nenek moyang. Pejabat itu seharusnya melayani rakyatnya, bekerja keras dan bekerja cerdas, serta memberikan kontribusi positif buat kemajuan bangsa dan negara. Bukan malah sebaliknya menggunakan kesempatan aji mumpung mengeruk kekayaan negara untuk kepentingan pribadi.
Jaman sudah global, negara kita butuh anggaran besar guna membangun insfrastruktur dan sumber daya manusia. Pejabat harus dituntut bekerja profesional. Sudah tidak ada istilah lagi enak pejabat tidak enak di rakyat. Korupsi sebagai kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime). Hukuman mati yang telah diterapkan negara China mungkin bisa kita adopsi buat koroptor kelas kakap, sebagai jalan terakhir agar negara kita terbebas dari tikus-tikus berdasi. Bagaimana pendapat Anda?
Surabaya, 4 Oktober 2019
Cak Deky