JAKARTA, Beritalima,com– Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah menilai, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak memiliki konsep yang jelas dalam membangun kesejahteraan rakyat.
Malah masalahan kesejahteraan sepertinya disederhanakan petahana melalui kartu-kartu seperti sebuah permainan domino. “Kesejahteraan itu akarnya dalam. Tak bisa disederhanakan dengan kartu-kartu,” sebut Fahri Hamzah dalam keterangan terulis kepada awak media.
Pimpinan DPR RI Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra) itu mencontohkan soal kesehatan, dimana BPJS kesehatan defisit terus. Akibatnya kualitas layanan rendah.
Pemerintah harus punya konsep untuk menyelesaikan, butuh terobosan ide dan gagasan, bukan menambah kartu. “Selama ini pemerintahan pak Jokowi, defisit terus membengkak, dan tak ada political will untuk menyelesaikan.”
Awal berdiri sudah defisit Rp 3.3 triliun (2014), Rp 5.7 triliun (2015), Rp 9.7 triliun (2016), Rp 9.8 triliun (2017), Rp 10.98 triliun (2018) dan sampai akhir 2019 diprediksi defisit di atas Rp 15 triliun. “Kalo dilihat data, ini terkesan dibiarkan. Pemerintah abai, dan saling menyalahkan,” kata Fahri.
Bahkan di masa kampanye, petahana hanya mengambil keuntungan di hilir dengan bagi-bagi kartu, sementara masalah di hulu dibiarkan saja. “Ini jahat, mengingat rumah sakit banyak kesulitan likuiditas karena klaim tidak kunjung dibayar, tenaga kesehatan tidak mendapat hak dan semakin tertekan dalam bekerja.”
Namun oleh petahana, lanjuy wakil rakyat dati Dapil NTB itu, seolah ini masalah kecil. Dan, janji cetak kartu terus jadi bahan kampanye. Hei bung, selesaikan dulu masalah di hulu, jangan pencitraan diujung jungkir balik. Buat negara tampak kuat dan kredibel dalam menyelesaikan permasalahan,” cetus inisiator Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI) itu.
Begitu juga di sektor pendidikan. Menurut Fahri yang dibutuhkan juga bukan kebijakan cetak kartu pintar dari SD sampai kuliah. Masalah pendidikan di Indonesia sudah sedemikian akut dan sistemik. Yang dibutuhkan konsep, butuh memahami gambar besar permasalahannya.
“Petahana tidak mampu melihat gambar besar persoalan pendidikan sehingga dengan bagi-bagi kartu seolah masalah akan selesai. Padahal, itu hanya menambah masalah. Saya punya kewajiban mengingatkan ini, cetak kartu artinya tambah proyek, anggaran dan peluang korupsi.”
Masalah utama pendidikan saat ini adalah kualitas output pendidikan yang rendah dan ketimpangan antar wilayah. Menurut penilaian global, Programme for International Student Assesment (PISA), Indonesia urutan 63 dari 72 negara.
“Output yang begitu rendah karena ada permasalahan mendasar di input dan proses dalam dunia pendidikan kita. Jelas, persoalan ini tidak bisa selesai dengan bagi-bagi kartu. Mau dibungkus pakai iklan apapun ini menyesatkan,” sindir Fahri.
Setidaknya ada dua hal mendasar yang diabaikan dalam 4.5 tahun ini, yakni reformasi tata kelola dan investasi bidang pendidikan. Dua hal ini hulu persoalan, dan bagi-bagi kartu itu hanya menyentuh persoalan hilir saja dan bukan ini cara negara bekerja.
“Negara harus dalam terlibat urusan pendidikan, bukan dipermukaan saja. Harus berani berinvestasi untuk masa depan. Pembangunan infrastruktur pendidikan lebih utama dibanding jalan tol, karena efek pendidikan lebih mendasar bagi rakyat,” tegas dia.
Kalau mau dunia pendidikan maju, yang dibangun bukan infrastruktur tol, tapi gedung-gedung sekolah yang hancur dan rusak harus diperbaiki. Begitu pula rasio ruang kelas harus diperkecil, mengingat saat ini dalam satu kelas di isi rata-rata 32 anak, bahkan ada sekolah yang 1 kelas diisi 40 anak.
“Rasio guru terhadap anak didik juga besar sekali, 1 guru mengajar 32-40 anak. Bebannya tinggi, tapi gajinya sangat minim. Jika kita mendengar guru honorer hanya digaji 300 ribu per bulan, itu fakta. Mereka adalah guru-guru yang mengajar di pelosok-pelosok Indonesia.”
Di akhir pemerintahan Jokowi, guru honorer demo menuntut hak-haknya yang terabaikan. Padahal kewajiban telah tunai mereka kerjakan dengan tulus, tetapi Jokowi cuek bahkan sampai menghindar.
“Pemerintah cuek karena sebenarnya pemerintah sudah kehabisan uang. Utang sudah membengkak untuk bikin Tol. Tapi kita bayangkan, untuk memenuhi hak Guru saja katanya tidak ada uang lalu malah mau cetak kartu lagi. Ini sesat dan menyesatkan,” demikian Fahri Hamzah. (akhir)