JAKARTA, Beritalima.com– Majelis Nasional Forum Alumni HMI Wati (Forhati) menolak draf Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang tengah dibahas diDPR RI.
Dan, rancangan itu sudah diubah menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual. Alasannya, karena kata ‘Kejahatan’ memiliki makna lebih luas dan komprehensif.
Penolakan itu tertuang dalam keterangan tertulis Forhati yang diterima awak media dan ditandatangani Koordinator Presidium Forhati, Hanifah Husein dan Sekertaris Jenderal Jumrana Saliki.
“Meminta Pemerintah, dan DPR RI untuk membuat RUU Penghapusan Kejahatan Seksual secara komprehensif untuk perlindungan terhadap perempuan dengan menerima masukan/usulan dari elemen masyarakat,” kata Hanifah.
Bersamaan itu, Forhati juga mengajak elemen masyarakat, lembaga adat, agama, organisasi massa, pemuda untuk terus mengawal dan mendukung upaya mengantisipasi penyakit sosial terutama perihal kejahatan seksual, penyimpangan seksual (LGBT), pergaulan bebas, narkotika serta kerusakan moral lainya.
Majelis Nasional Forhati mengajak segenap keluarga besar HMI, Forhati Wilayah dan Daerah, KAHMI, Organisasi Masyarakat terutama Ormas Islam dan seluruh elemen masyarakat bersama-sama memperhatikan, memupuk, membangun Ketahanan Keluarga berbasis agama dan budaya bangsa Indonesia.
“Mulai dari lingkup terkecil (rumah tangga), lingkungan, komunitas, dan lain-lainnya, sehingga tercipta keluarga yang menghasilkan generasi cerdas, tangguh dan berkarakter,” ungkap Hanifah.
Penolakan setelah Forhati melakukan pengkajian draf RUU itu. Pada Bab 1, Ketentuan Umum; 1. Kekerasan seksual, adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi, reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan itu tak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan, secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
“Definisi di atas masih multi-tafsir, maka dipandang perlu untuk melakukan pengkajian ulang,” tegasnya.
Pada dasarnya, ujar Hanifah, hampir seluruh pasal-pasal yang tercantum dalam RUU P-KS telah termuat di RUU-KUHP, UU KDRT, UU Perlindungan Anak.
“Secara sosiologis draf RUU P-KS ini sarat dengan muatan feminisme dan liberalisme sehingga memungkinkan adanya celah legalisasi tindakan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender/Transseksual) dan Pergaulan Bebas. Hal yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai sosial di dalam masyarakat.”
Secara filosofis draf RUU P-KS bertentangan dengan nilai-nilai agama yang dianut bangsa Indonesia. “Secara umum, Forhati memandang draf RUU P-KS bertentangan dengan Pancasila dan budaya bangsa Indonesia (Kearifan Lokal yang tidak bertentangan dengan agama). (akhir)