LANGSA-ACEH, Beritalima.com| Maklumat Gubernur Aceh tentang pemberlakuan jam malam sebagai upaya cegah penyebaran virus corona (COVID-19) bukanlah kebutuhan mendesak atau tidak diperlukan saat ini.
“Harusnya yang paling penting Pemerintah Aceh berani mengambil keputusan untuk menutup semua jalur masuk ke Aceh dan melakukan karantina orang dalam pemantauan (ODP) secara ketat”, ujar Nasruddin Ketua FPRM pada beritalima.com, Selasa (31/03).
Menurutnya, untuk apa dilakukan jam malam, kalau pintu masuk orang ke Aceh lewat laut, darat dan udara tidak ditutup.
“Kasus positif Corona itu terjadi karena penyebarannya lewat orang yang datang ke Aceh dari wilayah yang berdampak COVID-19 seperti Jakarta, Surabaya, Bogor dan Malaysia”, tegas Nasruddin.
Lanjutnya, harusnya Pemerintah Aceh melalui Gubernur harus cerdas menyelesaikan permasalahan dari akar atau sumber wabah penyebaran virus Corona.
“Akar masalahnya sekarang secara tegas Gubernur untuk menutup bandara, pelabuhan dan terminal. Intinya Aceh tidak terima dulu orang masuk ke Aceh”, tegasnya.
Kalau Aceh menerapkan jam malam, meliburkan sekolah, menutup usaha masyarakat dan melarang keramaian, tapi Aceh masih membuka bandara, pelabuhan dan terminal, maka semua kebijakan itu sia-sia.
Seandainya kita asumsikan bahwa semua orang yang ada di Aceh ini negatif dari Covid-19. Tapi kemudian masuk orang yang sudah terinfeksi Covid-19, maka penularan akan terus terjadi.
Namun saat ini kita sudah tahu faktanya, bahwa sudah ada 5 orang yang positif, kemudian ada puluhan Pasien Dalam Pengawasan (PDP), serta ratusan Orang Dalam Pemantauan (ODP) di Aceh yang tersebar di 23 kabupaten/Kota di Aceh.
Jadi yang harus dilakukan saat ini, selain menutup jalur agar tidak ada lagi orang yang membawa Covid-19 ke Aceh, juga harus dilakukan karantina yang super ketat.
Ratusan ODP yang tersebar di seluruh Aceh ini harus dikarantina secara terpusat minimal 14 hari, dan dilindungi 24 jam agar tidak bertemu dengan orang lain.
Memutus rantai penularan Covid-19 ini tidak mungkin berhasil jika para ODP hanya diimbau untuk melakukan karantina mandiri di rumah masing-masing.
Hal yang sangat manusiawi apabila manusia bosan berada di dalam rumah selama 14 hari. Maka ia akan tetap keluar rumah, belanja ke pasar, ke apotik dan sebagainya.
Disamping itu, tidak semua ODP di Aceh ini adalah orang yang mampu secara ekonomi. Banyak di antaranya rakyat kecil yang sumber penghasilannya dari bekerja harian.
“Bagaimana mungkin mereka yang pekerja harian ini diimbau untuk berdiam diri di rumah selama 14 hari? Mau makan apa dia dan keluarganya?”, tanya Nasruddin.
Maka sudah seharusnya pemerintah yang menanggung kebutuhan para ODP, baik makanan, vitamin, dan sebagainya. Caranya para ODP ini harus dikarantina di satu tempat.
Akan lebih tepat lagi kalau para ODP dikarantina di fasilitas militer yang sudah terjamin keamanannya, juga mempunyai sarana yang lengkap seperti kamar tidur, kamar mandi, perabotan, sarana olahraga dan taman.
Menurut Nasruddin, ada dua lokasi yang layak sebagai tempat pemusatan karantina, yaitu Rindam Iskandar Muda di Mata Ie, dan Sekolah Polisi Negara (SPN) di Seulawah.
Apabila dianggap terlalu jauh jika semua ODP dari berbagai kabupaten / kota dikarantina di pusat provinsi, bisa juga dibagi ke tiga lokasi, yaitu di Lhokseumawe untuk wilayah utara, timur dan tengah, kemudian di Meulaboh untuk wilayah barat dan selatan. (Dhani Atjeh).