JAKARTA, beritalima.com | Fraksi Partai Nasdem menyatakan sikap mengedepankan aspek kehati-hatian atau prudensial dalam mengevaluasi penyelenggaraan pemilu. Hal itu disampaikan Wakil Ketua Fraksi Nasdem, Zulfan Lindan dalam pembukaan FGD Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 di Jakarta, Kamis (20/6/2019).
“Kita memperhatikan perkembangan isu atas persoalan pemilu 2019, dari mulai berbagai akademisi hingga Presiden pun sudah memberikan pandangannya. Fraksi Nasdem di DPR pun demikian, hingga saat ini terus melakukan kajian secara matang, dan akan mengedepankan aspek kehati-hatian,” terangnya.
Zulfan menegaskan, bahwa aspek kehati-hatian tersebut tidak hanya berkaitan dengan pensikapan fenomena, tetapi mencakup sistem hingga dampak yang muncul dari sistem tersebut.
“Jangan karena melihat beberapa efek negatif, kemudian evaluasi dilakukan dengan langsung mengatakan bahwa penyelenggaraan pemilu serentak tersebut buruk. Kita harus melihat faktornya secara detail dan komprehensif,” ungkapnya.
Evaluasi tidak boleh reaksioner, menurut Zulfan, justru kelemahan pemilihan legislatif yang muncul selama ini harus diinventarisir, digali secara ketentuan hukum maupun teknisnya, sehingga mampu menjadi evaluasi yang membangun.
Hal senada disampaikan peneliti senior Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI, Syamsuddin Haris, setidaknya ada 4 (empat) evaluasi yang harus dilakukan terhadap Pemilu 2019. Keempat evaluasi tersebut, meliputi: penyelenggaraan, pilpres, pileg, dan pemilu serentak.
“Hal paling mendasar adalah penyelenggaraan, dimana terlalu dipaksakan dalam satu hari. Kalau kita tengok di India sebagai penyelenggara pemilu paling besar, itu dilaksanakan dalam satu bulan,” ungkapnya.
Pada poin pilpres, kritik Syamsuddin terutama pada dasar penentuan pencalonan presiden dan wakilnya dari hasil legislatif pemilu 2014. Sedangkan pada poin pileg, ia menekankan pentingnya institusionalisasi partai politik kembali. Saat ini menurutnya, calon anggota legislatif bisa datang dari mana saja. Sehingga, parpol saat ini hanya secara semu menjadi kendaraan politik.
“Kita sudah mengalami deinstitusionalisasi parpol. Kedepan harus dipikirkan agar caleg itu benar-benar berasal dari parpol,” ungkapnya.
Adapun pada poin pemilu serentak, Syamsuddin menerangkan bahwa efektifitas pemilu serentak perlu perbaikan pada hal-hal teknis, sehingga tidak terjadi permasalahan dalam penghitungan suara.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Satya Arinanto menerangkan bahwa evaluasi pemilu 2019 merupakan pekerjaan yang berat. Sehingga, ia berpendapat bahwa capaian saat ini harus diapresiasi, tetapi kritik atau evaluasi tidak perlu mutlak merubah kembali sistem yang telah berjalan.
“Pembaasan RUU politik itu memakan waktu dan perhatian yang sangat besar. Saya mengikuti pembahasan RUU MD3 itu merupakan pembahasan RUU yang paling lama. Bahkan, rapatnya saja sampai tengah malam,” terangnya.
Satya bahkan menilai pembahasan RUU politik kerapkali mengganggu pembahasan program legislatif nasional (prolegnas). Untuk itu, ia menyarankan agar tidak merombak total penyelenggaraan pemilu, dari evaluasi pemilu 2019.
Sejumlah fakta penting yang dapat menjadi bahan evaluasi pemilu 2019 menurut Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanudin Muhtadi harus ditekankan pengaruh pemilu serentak dan presidential threshold pada terjadinya polarisasi masyarakat yang berujung pada politik identitas dalam pilpres 2019. Bahkan, temuan lembaganya menghasilkan hipotesis bahwa dalam pemilu serentak minat masyarakat terhadap pemilu presiden lebih kuat ketimbang pemilu legislatif, yang pada akhirnya mempengaruhi pengaruh presiden terhadap legislatif. Hal yang sama juga terlihat dari perhatian masyarakat yang terpusat pada pilpres daripada pileg sepanjang pemilu serentak 2019.
“Dalam sistem presidensial, argumen utamanya adalah two paralel structure antara eksekutif dan legislatif. Kalau dilakukan secara serentak, maka dominasi presiden terlalu kuat, sedangkan legislatif lemah. Pertanyaannya, apakah hipotesis itu terbukti nanti?” ungkap dia.
Lebih lanjut Burhanudin menjelaskan, efektivitas pemilu serentak perlu memperhatikan two parallel structure tersebut sebagai kualitas demokrasi dan stabilitas yang merupakan output dari pemilu.
Sejumlah fakta yang menunjukkan polarisasi masyarakat terlihat dari survey pemilih paslon presiden berdasarkan identitas agama. Pemilih Muslim sebesar 49 persen dan 51 persen antara paslon 01 dan 02. Pemilih non muslim masing-masing paslon 01 dan 02 sebesar 97 pesen dan 03 persen.
“Pemilu serentak menghasilkan 2 Indonesia sebagai polarisasi kekuatan yang demikian tajam,” tegasnya.
Sementara itu, strategi kampanye dan hasil pemilu tidak lagi memiliki pengaruh langsung terhadap elektabilitas kedua pasangan capres dan cawapres . Misalnya, ungkap dia, Jokowi habis-habisan kampanye di Jawa Barat dan Sumatera tetapi hasilnya tidak signifikan. Sementara itu Prabowo habis-habisan kampanye di Jawa Tengah dan Sulawesi, tetapi hasilnya juga tidak signifikan.
“Fenomena ini menunjukkan bahwa masing-masing calon mengalami penguatan suara justru di basisnya masing-masing,” terangnya.
Fakta lain yang perlu dilihat terkait politik identitas adalah bahwa semakin banyak pemilih muslim di satu provinsi, maka semakin rendah pemilih Jokowi. Sebaliknya, semakin banyak pemilih non muslim di satu provinsi, maka semakin sedikit pemilih Prabowo.
“Dalam pemilu 2019 lalu, ternyata juga berkampanye mengenai pencapaian pembangunan tidak berhasil mempengaruhi para pemilih. Ini kan fenomena lucu, masa kedepan ketika kampanye tidak perlu cerita achievement pembangunan, tapi tinggal tanya: kamu KTP beragama apa?” ungkapnya.
Burhanudin menekankan bahwa fenomena politik identitas sebagai dampak sosial dari penyelenggaraan pemilu 2019 seperti ini, mungkin tidak sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa.
“Jika saya ditanya evaluasi (pemilu 2019-RED), saya bertitik tekan pada two parallel structure dalam sistem presidensial yang tidak terefleksikan dalam pemilu 2019,” pungkas dia. []