JAKARTA, Beritalima.com– Anggota Panitia Kerja Badan Legislasi (Panja Baleg) DPR RI, Dr H Mulyanto meminta Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencabut klaster pendidikan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Lawa Cipta Kerja (Ciptaker) yang tengah dibahas DPR RI bersama dengan Pemerintah.
Soalnya, kata Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bidang Industri dan Pembangunan itu kepada Beritalima.com, Jumat (18/9), Pemerintah dinilai tidak siap merumuskan konsepsi dasar Tata Kelola Pendidikan Nasional dalam RUU Ciptaker.
Dalam draft yang ada masih muncul semangat liberalisasi pendidikan, yang menjadikan pendidikan sebagai barang dagang komersil industri jasa karena longgar terhadap lembaga pendidikan asing.
PKS menilai, Pemerintah terkesan memaksakan pembahasan pasal-pasal terkait dengan pendidikan dalam RUU Ciptaker. Padahal, masalah ini tak terkait langsung dengan upaya membangun kemudahan berusaha, investasi kondusif dan penciptaan lapangan kerja, yang menjadi inti dari RUU Omnibus Law Ciptaker.
Dijelaskan, hingga saat ini DPR RI dan Pemerintah sudah dua kali membahas RUU Ciptaker terkait klaster pendidikan. Meski sudah beberapa kali diskor untuk lobi-lobi, tetapi Pemerintah tetap belum siap dengan rumusan baru yang bisa diterima. Pemerintah masih ingin mencabut sifat nirlaba kelembagaan pendidikan dan membuka liberalisasi pendidikan asing.
Alasannya, ketimbang membiarkan mahasiswa Indonesia pergi belajar ke luar negeri dan menguras devisa, lebih baik lembaga pendidikan asing yang diundang beroperasi di sini. Dengan demikian Pemerintah akan mendapat pemasukan dari pajak lembaga pendidikan asing itu.
Selain itu, biaya hidup mahasiswa Indonesia tetap dikeluarkan di negeri sendiri. Pemerintah juga beralasan, liberalisasi pendidikan ini perlu dilakukan karena ada desakan World Trade Organization (WTO.
Kalau soal WTO, Panja RUU Ciptaker sudah dua kali menghadirkan Duta Besar WTO.
“Panja sudah minta penjelasan langsung terkait aturan liberalisasi ini. Dan, faktanya, menurut WTO, tidak ada sanksi yang jelas terkait soal liberalisasi pendidikan ini. Berbeda dengan masalah pangan, yang jelas aturan dan sanksinya, termasuk adanya potensi penuntutan negara-yang merasa dirugikan.”
Menurut dia, alasan Pemerintah meliberalisasi lembaga pendidikan kurang bisa diterima karena liberalisasi lembaga pendidikan belum tentu menjamin peningkatan pendapatan Negara. Yang, ada justru menjadi ancaman bagi ideologi dan budaya bangsa Indonesia.
Ditegaskan, PKS menolak logika dasar liberalisasi lembaga pendidikan yang diatur dalam RUU Ciptaker itu. Norma dasar tata kelola pendidikan dalam RUU Ciptaker lebih ingin menjadikan lembaga pendidikan sebagai komoditas industri jasa.
Fraksi PKS tidak setuju klaster ini dipertahankan karena bila kita teliti secara cermat, masalah pendidikan tidak terkait langsung dengan ruh RUU Ciptaker. Liberalisasi pendidikam lebih berat dari ide membangun rumah sakit asing, karena sektor pendidikan sangat terkait dengan pembinaan budaya dan ideologi bangsa.
“Seharusnya, justru kita bangun lembaga pendidikan berkualitas tinggi dan unggul, sehingga mampu menyerap mahasiswa kita yang ingin belajar ke luar negeri. Apalagi kalau dapat menarik mahasiswa luar negeri untuk belajar di sini. Dulu kita pernah seperti itu. Mahasiswa dari Malaysia banyak belajar di universitas-universitas kita,” lanjut Mulyanto.
Kita tidak ingin dunia pendidikan tanah air, kata Mulyanto, sekedar jadi pasar industri tersier dengan semangat liberalisme kapitalistik atau menjadi bancakan lembaga pendidikan asing dan menggerus nilai-nilai budaya bangsa ini di tengah kompetisi dagang edukasi global. Pendidikan adalah masalah vital bangsa ini.
Negara berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Negara wajib mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini tugas Negara. Negara tidak boleh melepas tanggung-jawab dalam masalah ini dan menyerahkannya kepada mekanisme pasar, melalui prinsip laba dan liberalisasi pendidikan.
“Pendidikan itu bukan komoditas industri jasa. Ini adalah soal tanggung-jawab Negara dan kita semua bagi masa depan negeri ini,” tandas doktor nuklir lulusan Tokyo Institute of Technology (Tokodai), Jepang tersebut. (akhir)