Oleh Abd. Kadir
Beberapa waktu yang lalu saya dihubungi beberapa siswa bahwa aktivitas pembelajaran di sekolah tempat saya mengajar dulu—di pulau—kini masih lesu. Betapa tidak, kehadiran guru masih terlambat datang ke sana karena cuaca yang kurang bersahabat.
Para guru yang berasal dari daratan masih belum bisa hadir karena memang tidak ada kapal yang berlayar ke pulau. Ini semua membuat suasana pembelajaran semakin lesu.
Namun, di tengah lesunya pembelajaran itu, ada berita yang cukup mengembirakan. Selang beberapa minggu dari kabar awal yang saya terima, ketika guru-guru yang dari darat mulai berdatangan, saya dihubungi beberapa siswa lagi lewat sms bahwa OSIS di sana mengadakan lomba cipta puisi dan dilanjutkan dengan deklamasi hasil karya cipta itu.
Beberapa saat kemudian ada teman guru yang menelepon saya dengan pemberitahuan yang sama.
Saya sempat agak shock mendengar berita tentang pelaksanaan lomba ini. Imajinasi saya kembali mengalir dan membuka memori bagaimana saya selama hampir 6 menjadi guru tahun di pulau. Saya terkenang ketika bagaimana anak-anak berusaha untuk mempelajari sastra sebagai bagian dari kecintaan mereka teradap dunia sastra.
Saya juga teringat bagaimana anak-anak meminta saya untuk memfasilitasi dalam penerbitan majalah “Inovasi”. Saya juga teringat ketika detik-detik saya harus meninggalkan pulau karena saya harus dimutasi ke sekolah di darat.
Semuanya menyelinap dalam kesadaran psikologis saya. Betapa kenangan tentang sekolah pulau ini masih begitu kuat dalam ingatan saya.
Saat itu, ketika sudah ada di kapal, saat saya harus meninggalkan pulau, betapa suasana haru-biru menyertai perjalanan saya. Sejak dari sekolah, sampai ke pelabuhan mereka (para siswa) dengan setia menemani perjalanan saya. Dengan riuh tangis yang terurai, setelah saya kumpulkan di ruang aula; dengan sesak yang menghunjam, mereka setia menemai saya jalan kaki sampai ke pelabuhan. Betul-betul suasana yang mengharu-biru.
Yang lebih mengharukan lagi ketika saya harus menerima ratusan sms puitis yang selama ini jarang saya terima dari siswa. Betapa tidak, saya agak kaget ketika ternyata siswa-siswa saya ‘bertubi-tubi’ mengirim sms puitis. Ini menandakan bahwa ternyata kepergian saya dari pulau telah menjadi inspirasi untuk melahirkan ‘bahasa puisi’ bagi mereka.
Bahkan ketika beberapa minggu setelah saya pulang dari pulau ada anak yang menghubungi saya bahwa ada salah satu kelas berubah menjadi ‘kampung sastra’. Mayoritas siswa di kelas itu telah ‘mabuk puisi’. Mereka melampiaskan imajinasi dan kegalauan akibat perpisahan mereka dalam bentuk puisi.
Mengenang ini semua, ternyata setelah saya meninggalkan pulau, ‘gairah’ mereka untuk bersastra begitu memuncak. Realitas yang berkembang sekarang di sekolah telah memberikan sebuah indikasi adanya ‘birahi’ yang semakin kuat untuk bersastra.
Saya bisa memahami mengapa mereka menghubungi saya. Saya sadar selama ini saya memang selalu mencoba membangkitkan gairah bersastra pada diri siswa saya. Hanya saja, semua upaya saya seolah membentur dinding tebal ketika saya harus dimutasi ke sekolah lain.
Memang itulah yang saya pesankan pada seluruh siswa ketika saya akan meninggalkan pulau. Bahwa kepergian saya bukanlah akhir dari segalanya. Kepergian saya setidaknya dapat menjadi pintu awal untuk membuktikan bahwa siswa di pulau adalah siswa yang mampu menunjukkan bahwa mereka bisa: bisa untuk lebih baik; bisa untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa mereka adalah siswa-siswa terbaik yang berguna bagi masyarakat.
Di sela-sela imajinasi yang semakin ‘asyikmasyuk’ dengan segenap kesunyi-senyapannya, tiba-tiba saya dikejutkan kembali dengan sebuah sms dari nomor baru: “virus yang sampeyan tinggalkan tergolong super aktif dan sangat berbahaya. Cepat sekali penularannya. Lantas siapa yang dapat menyembuhkan? Kutahu Ikratul Akbar cs, misalnya, kini kesurupan sambil meneriakkan bait-bait puisi.
Seperti Harry Potter saja, terbang dengan mengendarai sebatang welandingan yang banyak tumbuh liar dan dicabutnya di sekitar pekarangan sekolah. Mereka memanggil-manggil: Guru! Di manakah kau? Kami murid-muridmu (sebut saja Mimik Haerati, Nurul Hasanah, Mutmainnah, Romizah, Rere, Kamsariyanto dan pokoknya semua anak SMA, masihkah kami bisa mengharapkanmu kembali? Kenapa guru yang sangat kami cintai pergi meninggalkan kami. Jawab!!!”.
Saya hanya bisa terdiam. Sejenak saya mencoba menenangkan kesadaran psikologis saya untuk mencari tahu tentang pemilik nomor yang mengirim sms ini tadi. Ternyata pemilik nomor tadi adalah Hasani Hamzah, teman di pulau yang memiliki spektrum pemikiran dan hobi yang sama dengan saya: bersastra.
Setelah sejenak terdiam akhirnya saya harus berani untuk jujur membalas sms tadi: “Mas Hasani, saya pikir bahwa inilah fenomena. Ternyata eksistensi saya di pulau hanya menjadi penyumbat kran yang seolah-olah masih membungkam kreativitas bersastra para siswa. Namun, ketika saya harus keluar dari pulau, ternyata kran itu telah terbuka. Kreativitas bersastra anak-anak mulai ‘muncrat’ tak terbendung lagi. Realitas inilah sebanarnya yang perlu diapresiasi dengan positif oleh semua pihak”.
Ya, selama ini, meski mereka masih merasa lesu dalam pembelajaran, namun kreativitas dan gairah bersastra mereka ternyata tetap ‘meledak-ledak’.
Saya juga berharap meski saya tidak lagi di pulau, mudah-mudahan semangat bersastra mereka tetap mengalir. Saya jadi ingat apa yang disampaikan pak Anis Baswedan: “kita hari ini tidak bisa hanya bilang telah melatih sekian orang guru, sekian orang siswa, sekian orang kepala sekolah, sekian orang pengawas. Tapi, kita butuh dampak apa yang telah terjadi akibat pelatihan itu. Perubahan apa yang terjadi setelah mereka dilatih”.
Mungkin realitas bersastra inilah yang pernah disampaikan Pak Anis Baswedan. Bukan hanya sekadar tahu teori bersastra yang disampakan di depan kelas, melainkan, dampak berastra dalam kehidupan siswa. Mereka telah membangun ‘kampung sastra’ di sekolah. Semoga!
(An)