JAKARTA, Beritalima.com – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan memutus gugatan Warga Negara terhadap Menteri Dalam Negeri, Pemerintah Aceh, dan DPR Aceh,penghapusan nomenklatur Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh.
Gugatan diajukan warga Aceh yang tergabung dalam GeRAM menggugat Mendagri, Gubernur Aceh, dan Ketua DPR Aceh. Sejak didaftarkan 21/112016 di PN Jakarta Pusat, dengan register perkara Nomor 33/Pdt.G/2016/PN.JKT.PST, gugatan akan diputus persidangan hari selasa 8 November 2016.
Mereka sebagai peggugat, Citizen Lawsuit (CLS), adalah Effendi warga Aceh Besar, Juarsyah warga Bener Meriah, Abu Kari warga Gayo Lues, Dahlan warga Kota Lhokseumawe, Kamal Faisal warga Aceh Tamiang, Muhammad Ansari Sidik warga Aceh Tenggara, Sarbunis warga Aceh Selatan, Najaruddin warga Nagan Raya, dan Farwiza warga Kota Banda Aceh.
“Gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Mendagri, Gubernur Aceh dan DPR Aceh sebagai penyelenggara negara yang dengan sengaja melanggar UU dan lalai menjalankan tugasnya. Mendagri, dianggap lalai mengawasi Pemerintah Aceh dalam penetapan Qanuan RTWA Aceh.
Seharusnya, kata dia, Mendagri membatalkan qanun RTRW Aceh karena ditetapkan mengabaikan kawasan strategis nasional, KEL. Akibatnya, perbuatan itu merugikan kepentingan para penggugat,” kata Nurul Ikhsan, Koordinator kuasa hukum GeRAM kata Nurul Ikhsan.
Sementara itu, Gubernur Aceh dan Ketua DPR Aceh digugat, lanjut Ikhsan, karena mengesahkan Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh, selain lalai dalam proses penetapan qanun, sengaja tak memasukan beberapa substansi penting yang diamanahkan dalam RTRW Nasional, seperti Kawasan Strategis Nasional, KEL.
Menurt Prof. Emil Salim, mantan Menteri Lingkungan Hidup dan Guru Besar (Emeritus) Ekonomi Lingkungan Universitas Indonesia, dalam konfrensi pers 3 Oktober 2016 di Jakarta memaparkan Pembentukan KEL didasarkan atas usulan tokoh Adat, Hulu Balang pada masa tahun 1925 yang menghadang invansi perkebunan dan pertambangan kolonial Belanda dikawasan Ekosistem Leuser, disebut “Kesepakatan Tapak Tuan” 6 Februari 1934 dan disahkan dengan keputusanGubernur Aceh Decree No.317/35 , 3 Juli 1935.
“Setelah saya tahu Pemerintah Aceh menghapus Kawasan Ekosistem Leuser dari Tata Ruang Aceh, perasaan saya berontak. Pada zaman Pemerintahan Soeharto, karena ke-unikan KEL maka ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 1998, memuat ketentuan pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser,” tegas Emil.
Selain tidak mempertibagkan aspek di atas, Zensi Suhadi, Departemen Kajian, pembelaan dan hukum lingkungan, Esekutif Nasional Walhi, dan dalam konfrensi pers menyatakan motivasi Pemerintah Aceh dibalik pengahpusan KEL dari tata ruang Aceh. Sebenarnya, kata Zensi, dalam pasal 150 UU No.11/2006, secara tegas disebutkan, baik pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten di Aceh dilarang mengelurkan izin di KEL.
“Saat ini ada 93 perusahaan di wilayah KEL—menguasai 351,000 hektar lahan. Jelas Pemerintah Aceh hendak mencari rente ekonomi dibalik itu. Tidak dimasukannya KEL kedalam target perlindungan merupakan bentuk pelanggengan pengerusakan Dampkanya, selain berkonsekuensi langsung terhadap kekayaan biodiversity di dalam dan sekitar kawasan, juga akan berpengaruh signifikan terhadap kualitas lingkungan di Aceh, setidaknya degradasi kualitas 24 sungai yang menjadi sumber air bersih, irigasi dan tatanan kehidupan rakyat Aceh”.
Menurut Farwiza, KEL memiliki peranan pentingan dalam menyediakan jasa perlidungan daerah tangkapan air—rumah bagi ribuan species flora dan fauna. KEL juga merupakan contoh menarik bagaimana Gajah, Orang Utan dan Harimau hidup saling harmoni selama ribuan tahun.
Perencanaan ruang tanpa provinsi, kata Wiza, tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keaneka ragaman hayati,pelibatan masyarakat, rencana menuju pembagunan berkelanjutan, niscaya KEL akan hancur dalam beberapa tahun kedepan. Banjir dan longsor semakin rawan, supplai air bersih akan bermasalah, keaneka-ragaman hayati dunia punah, kesempatan kawasan ini untuk berperan sebagai sarana penyerapan karbon berkurang.
“Sekitar 68.000 masyarakat Aceh, Indonesia dan seluruh dunia menandatangani petisi GeRAM melalui change.org/saveleuser meminta perlidungan KEL, memohon penegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat disekitar KEL,” tegas Wiza,’’(**)