Catatan: Yousri Nur Raja Agam
SUARA tegas diucapkan lantang oleh Ketua DPRD Jatim, Kusnadi. “Gubernur khofifah bisa dinyatakan gagal memimpin Jawa Timur, karena anggap enteng berbagai masalah”.
Adanya tudingan, seperti itu, seharusnya Khofifah merenung. Tidak perlu marah. Ini adalah kenyataan terang benderang yang dilihat 120 kacamata “wakil rakyat” yang duduk sebagai anggota DPRD Jawa Timur.
Menjadi seorang pemimpin seperti kepala daerah di tengah pandemi Covid-19 bukanlah hal yang mudah. Karena itu pemimpin dituntut untuk selalu buka mata dan telinga. Menerima masukan dari berbagai pihak, serta mau lapang dada jika mendapat kritik membangun.
Apa yang disampaikan Kusnadi itu, adalah suara rakyat Jawa Timur yang ditampung dan disaring oleh 120 anggota DPRD Jatim. Dibicarakan di fraksi, komisi, badan-badan kelengkapan legislatif, lalu disimpulkan oleh empat wakil ketua. Nah, corongnya, Ketua DPRD Jatim, Kusnadi.
Untuk itu, para wakil rakyat dari 38 kabupaten dan kota di Jatim, berharap agar tercipta rasa saling percaya dan kebersamaan dalam menghadapi badai dan tantangan yang ada di depan mata.
Memperbaiki Kinerja
Kusnadi yang juga Ketua DPD PDI Perjuangan Jatim ini, menegaskan, DPRD Jatim menyatakan perlu mengingatkan kepada Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa beserta seluruh jajarannya di eksekutif, agar segera memperbaiki kinerja pemerintahan.
Apabila “teguran” ini tidak diindahkan, jangan salahkan kami, jika tidak ingin pemerintahan ini mengalami kegagalan dalam menjalankan roda pemerintahan di Jatim periode 2019-2024, ujar Kusnadi, Kamis (23/7/2021) di Surabaya.
Maaf, apa yang dikatakan politikus PDI Perjuangan ini, adalah tupoksi DPRD Jatim. Sebagaimana sudah diketahui, dewan adalah pembuat legislasi, budgeting dan evaluasi kinerja eksekutif. Jadi, DPRD Jatim merupakan bagian tak terpisahkan dari pemerintah provinsi Jawa Timur. Dalam hal ini, tentu tidak ingin mengalami kegagalan dalam menjalankan amanah yang telah diberikan oleh rakyat.
Saat ini, Gubernur dan wakil gubernur, kelihatan seperti jalan sendiri-sendiri. Di kalangan birokrasi terjadi silang sengkarut. Ini masalah serius yang harus segera dibenahi. Jika tidak justru akan menjadi bumerang yang dapat menjerumuskan gubernur Jatim, dalam kegagalan memimpin provinsi Jawa Timur.
Mewakili 120 anggota DPRD Jatim, Kusnadi, blak-blakan menilai, bahwa tolok ukur tidak bekerjanya mesin birokrasi Pemprov Jatim dengan baik, terlihat dari semakin banyaknya pekerjaan rumah (PR) yang kian menumpuk. Seharusnya Khofifah berpacu dengan waktu untuk segera menyelesaikan.
Roda pemerintahan Provinsi Jatim terkesan stagnan, sehingga masyarakat yang akan menerima dampak yang kurang positif ini. Contohnya, PR yang harus diselesaikan adalah tindaklanjut dari rekomendasi dan opini BPK terkait laporan hasil pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjwab keuangan negara di lingkungan Pemprov Jatim.
Setelah BPK memberikan opini, seharusnya Pemprov Jatim segera melakukan perhitungan anggaran. Harapannya bulan Agustus 2021 sudah bisa dilakukan pembahasan P-APBD Jatim 2021. Tetapi faktanya, penghitungan anggaran itu tak kunjung diselesaikan hingga saat ini.
Pembahasan APBD 2022 Molor.
Setelah merampungkan P-APBD 2021, tugas Pemprov Jatim, selanjutnya adalah mempersiapkan Rancangan APBD Jatim 2022. Sekarang sudah menjelang Agustus, padahal bulan September, waktunya penyerahan KUA PPAS kepada DPRD Jatim.
Kalau begini, kata Kusnadi, “saya berani pastikan pembahasan APBD Jatim 2022 akan molor”. B,ahkan terancam tak dapat insentif dari pemerintah pusat. Di samping itu, Pemprov Jatim juga tak kunjung menindaklanjuti kesepakatan untuk tidak lagi menjadikan RPJMD Jatim 2019-2024 sebagai tolok ukur kinerja Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa dalam melaksanakan pembangunan di Jatim.
Nah, karena ada pandemi Covid-19 yang tak kunjung selesai, kita juga sudah memikirkan bahwa RPJMD Jatim 2019-2024 itu sulit tercapai sehingga perlu direvisi. Tetapi, sampai saat ini konsep revisinya tak pernah ada. Ini bahaya bagi seorang kepala daerah, sebab pertanggungjawaban harus mengikuti RPJMD yang masih berlaku.
Sejumlah kepala daerah baik di Jatim maupun di Indonesia, lanjut Kusnadi juga sudah merevisi RPJMD-nya. Padahal menurut Kusnadi, DPRD sudah mengingatkan berulangkali, tetapi anehnya, seolah menganggap enteng dan santai-santai saja. Padahal jika revisi RPJMD itu dilakukan setahun jelang masa jabatan berakhir, jelas tidak mungkin karena ini berkaitan dengan program berkesinambungan.
Memang, masalah penanganan pandemi Covid-19 merupakan prioritas nasional. Tetapi, urusan birokrasi seyogyanya bisa diserahkan kepada pimpinan birokrat itu sendiri. Di manakah masalahnya? Apakah, urusan birokrasi harus berkaitan dengan urusan jabatan politis, serta aktivitas seremonial? Tentu tidak.
Belasan OPD Dipimpin Plt.
Yang juga dianggap masalah, adalah dikotomi antara mengutamakan aspek kesehatan dengan aspek ekonomi dalam penanganan pandemi Covid-19. Hal ini seharusnya dihilangkan. Sebab jika pemerintah hanya fokus pada kesehatan, inilah kondisi yang harus dihadapi. Sistem ketahanan ekonomi masyarakat menjadi terabaikan. Sehingga, masyarakat menjadi kelaparan dan enggan mematuhi kebijakan pemerintah.
Kusnadi menyarankan supaya Gubernur Khofifah fokus pada upaya pengendalian Covid-19. Sedangkan urusan internal pemerintahan untuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan guna menjaga kondisi Jatim tetap stabil, serahkan kepada birokrasi yang dipimpim oleh Sekdaprov.
Memang ada kendala tersendiri, di mana Sekdaprov yang sudah pensiun dan menjadi widyaiswara, diangkat lagi menjadi Plh Sekdaprov. Demikian juga belasan kepala dinas atau OPD (organisasi pemerintah daerah) dipimpin oleh pensiunan yang diangkat sebagai plt kepala dinas atau OPD.
Tidak hanya itu, ada ratusan jabatan di pemprov Jatim kosong atau diisi oleh plt. Dengan realita ini, bagaimana birokrasi di pemprov jatim bisa maksimal menjalankan tugasnya?
“Silahkan saja Gubernur Khofifah keliling Jatim untuk memberikan penguatan dan dukungan moral kepada masyarakat. Tapi jangan sampai melupakan pondasi utama rumah (Pemprov) yang ditinggalkan menjadi terbengkalai. Sebab yang bertanggungjawab sesuai regulasi itu adalah kepala daerah.
Kendala yang dialami Pemprov Jatim cukup kompleks. Mengingat, status Plh Sekdaprov Jatim sehingga menjadi kurang leluasa dalam mengambil kebijakan internal. Di sisi lain Sekda adalah pemimpin tertinggi dalam rangka pembinaan ASN.
Tapi karena kepala daerah lebih super power, jabatan sekdaprov digunakan sebagai alat untuk mendukung kepentingan politik. Sehingga, dipilih dari pejabat karier fungsional untuk mengisi jabatan Plh Sekdaprov Jatim.
Pimpinan DPRD Jatim, lanjut Kusnadi sudah bertemu dalam sebulan terakhir dengan Gubernur Khofifah. Salah satu agenda utamanya adalah menyangkut persoalan dan kegelisahan DPRD Jatim terkait evaluasi kinerja Pemprov Jatim yang tak kunjung membaik.
Mungkin Gubernur Jatim terlalu sibuk sehingga lupa, makanya melalui teman-teman media saya ingin mengingatkan kembali, agar kinerja Pemprov Jatim bisa segera membaik, pesan Kusnadi.
Sebagai gambaran, sebagaimana dilansir Jaringan Anti Korupsi, hingga awal Juli 2021 berdasarkan laporan Kemendagri realisasi atau penyerapan anggaran APBD Jatim masih di bawah 30%. Bahkan di bawah Provinsi Kalimantan utara dan Papua.
Ia memprediksi serapan atau realisasi anggaran APBD Jatim 2021 tidak lebih dari kisaran 80%. Sebab dengan sisa waktu yang ada, tidak akan bisa diserap maksimal kalau penggunaan anggaran sesuai koridor aturan yang ada. Itu kegagalan siapa? “Ya Gubernur”, sebab DPRD Jatim sudah mengingatkan berulangkali.
Diterima dengan Nada Miring
Beberapa anggota DPRD Jatim sebenarnya, juga sudah mengingatkan Khofifah tentang kinerja eksekutif ini. Tetapi, diterima dengan nada miring. Bahkan, wartawan dan media yang menyampaikan opini wakil rakyat, juga realisasi di masyarakat, dianggap “bukan sebagai informasi yang layak”. Justru, dibantah dan dinyatakan tidak objektif.
Sudah saatnya, kita semua menyadari peran masing-masing. Pernyataan pemerintah selalu tersalur di mediamassa. Mediamassa menjadi corong pejabat yang kadangkala dilengkapi keterangan humas (hubungan masyarakat). Untuk itu, maka harus sama-sama diingat, bahwa antara narasumber dengan pewarna media adalah “mitra”. Jadi sejajar, bukan salah satu di antaranya mempunyai kedudukan yang lebih atau kurang.
Ada pula yang perlu dikoreksi, terhadap profesi pewarta media sendiri. Wartawan dan mediamassa, atau pers, adalah profesi dan lembaga resmi yang dilindungi Undang-undang. Sehingga, persoalan yang berkaitan dengan profesi dan lembaga pers, harus dijadikan landasan berpijak, pihak-pihak yang terkait dengan pers.
Ada Undang-undang tentang Pers, tentang Penyiaran, tentang Keterbukaan Informasi, dan lain-lain. Itu semua, wajib menjadi dasar hukum yang digunakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Di sini salah satu di antaranya peran organisasi pers, penyiaran, media dan lembaga kehumasan (hubungan masyarakat) di kantor-kantor pemerintahan maupun swasta. Di sana, ada hak dan kewajiban masing-masing pihak. (**)