SURABAYA, beritalima.com| Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak proaktif membahas kesetaraan gender, disabilitas dan inklusi sosial (Gedsi) yang terjadi di masyarakat. Kali ini, dirinya mendiskusikan perihal pernikahan dini, kekerasan terhadap perempuan, perspektif gender dalam pembangunan, serta penguatan peran perempuan.
“Isu kesetaraan gender ini merupakan isu menarik yang masih diperdebatkan di banyak negara. Bahkan, diskusi tentang perbedaan equality dan equity juga masih berlangsung,” ucapnya saat menghadiri Seminar Nasional FSPLGY di Auditorium Rektorat Lantai 6, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Sabtu (19/11).
Di Indonesia sendiri, jelas Emil, amanat kesetaraan gender tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Yang mana, target kesetaraan gender ada pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah 4 tahun 2020-2024.
Hanya saja, lanjut Emil, masih terdapat bias antara perempuan dan laki-laki. Hal tersebut, menurutnya, sebagian besar berakar dari kultur yang menganggap kerja keras perempuan adalah suatu hal yang wajar dan tidak patut diapresiasi.
“Dulu saat saya ngerjakan disertasi doktoral, saya datang ke suatu daerah penyuplai sapi perah dan sapi potong. Ternyata, yang memikul rumput, membawa dagangan ke pasar, dan mengurus ternak justru ibu-ibu. Hanya saja status mereka hanya membantu perekonomian keluarga. Wanita ini sering _taken for granted_,” pungkasnya.
Salah satu permasalahan terbesar yang dihadapi, sebut Emil, adalah maraknya perkawinan dini. Terlebih, masyarakat sering menganggap bahwa probabilitas menikah seorang perempuan akan menurun seiring bertambahnya umur dan level edukasi.
“Seberapa sering kota mendengar orang tua yang bilang ke anak perempuannya yang ingin S2, ” Gak nikah dulu, Nak?” Tapi apa sering kita dengar hal yang sama dikatakan ke anak laki-laki? Saya pikir tidak. Padahal, kalau menikah saat kedua mempelai belum matang, yang paling rugi adalah pihak perempuan,” imbuh Emil.
Masalah lainnya yang sering ditemukan, lanjut mantan Bupati Trenggalek tersebut, adalah tingginya kekerasan terhadap perempuan. Ini dibuktikan dengan survey pengalaman hidup perempuan nasional 2016 yang mengungkap bahwa satu dari tiga perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual sepanjang hidupnya.
“Dan ini seringkali diperparah dengan asumsi di masyarakat kalau menjadi janda itu jauh lebih berat daripada tetap berada di hubungan yang _oppressive_. Makanya perempuan kita lebih cenderung bertahan daripada melawan,” tuturnya.
Demi menyelesaikan dan meminimalisir isu-isu gender tersebut, Emil mengatakan bahwa Pemerintah Provinsi Jatim sudah berusaha mengamalkan amanat kesetaraan gender. Seperti memberlakukan Perda Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dan program Jatim Puspa.
“Dalam pembangunan, perspektif gender ini menjadi penting untuk mewujudkan keadilan sosial. Maka kita butuh kebijakan yang tidak bias dan kesadaran akan kesetaraan gender. Di lingkungan Pemprov, ini terlihat dari _equal pay_ yang tidak memandang gender,” terangnya.
Tak hanya itu, kesetaraan gender juga ada dalam usaha menuju Sustainable Development Goals (SGDs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Di mana, dibutuhkan 12 penguatan peran perempuan untuk mencapainya.
Penguatan itu antara lain mengakhiri diskriminasi, menghilangkan kekerasan dan pernikahan usia dini, penghargaan kerja domestik, kebijakan perlindungan sosial, kepemimpinan politik, akses universal bagi kesehatan, hak reproduksi, hak akan sumber daya ekonomi, akses pada sumber daya alam, pemberdayaan teknologi komunikasi dan informasi, serta penerapan hukum.
“_Bottom line_ dari ini adalah kalau membicarakan kesetaraan gender, jangan hanya sekedar teoritis tapi faktual. _Don’t talk about others, talk about yourself_. Hal-hal seperti itu harus dibahas, agar bisa menciptakan ekosistem yang suportif,” tutup Emil.
(red)