SURABAYA, beritalima.com | Sebagai negara perpulauan terbesar dunia, Indonesia memiliki ratusan suku dengan bahasa, budaya, serta kepercayaan yang berbeda. Oleh karenanya, kebhinekaan merupakan suatu keniscayaan yang patut diselebrasi bersama.
“Kita di sini untuk menyegarkan kembali semangat kebhinekaan kita yang luar biasa. Karena didirikannya Indonesia adalah semangat untuk memperjuangkan keperimanusiaan sesuai nilai-nilai Pancasila. Makanya kita kumpul dari berbagai elemen, lintas latar belakang, bahkan lintas agama untuk menghargai pluralisme dan multikulturalisme yang ada di Indonesia,” ujar Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak saat menghadiri Silaturahmi Anak Bangsa dengan tema “Pancasila Sebagai Elan Atau Lambang Perjuangan Hidup Dalam Membentuk Tata Dunia yang Berperikemanusiaan Pasca Pandemi” di Auditorium Universitas Ciputra, Surabaya, Sabtu (28/5).
Menurut Emil, banyak orang seringkali mengenal istilah _nation state_ yang hadir karena kesamaan _nation_ dan juga yang hadir karena kesamaan geografis. Hanya saja, Indonesia tergolong unik karena merupakan negara archipelago terbesar dengan pulau-pulau terbesar dunia juga.
“Masing-masing pulau ini sebenarnya bisa memutuskan untuk menjadi _standalone island_, tapi ternyata kita bersatu sebagai Indonesia terlepas dari berbagai ras, budaya, bahasa ataupun agama. Maka Sumpah Pemuda tahun 1928 menjadi milestone yang luar biasa,” tuturnya.
Hanya saja, Emil menilai bahwa sekarang ini semangat untuk bersatu dalam kebhinekaan cenderung pudar. Apalagi mengingat Indonesia tak lagi berada dalam cengkraman para penjajah secara fisik.
“Nah, hari ini banyak yang guyon kalau penjajah masih jauh sehingga kita lupa terhadap semangat yang menyatukan kita dulu. Bahwa sebenarnya kebersamaan itulah yang membuat negara ini hadir dan eksis,” imbuhnya.
Selain itu, Emil mengatakan bahwa perkembangan teknologi dan sosial media juga membawa tantangan tersendiri. Sebab, terlepas dari mudahnya akses informasi, banyaknya berita bohong dan menyesatkan juga berdampak pada kerukunan dan ketenangan bermasyarakat.
“Di tengah media sosial yang semakin bebas, banyak sekali informasi yang judul kadang-kadang nggak mencerminkan isinya. Ini semakin memperuncing potensi konflik yang terjadi pada masyarakat,” ucapnya.
“Kalau orang terlalu cepat menyimpulkan, bisa bahaya sekali. Maka salah satu resiko kita adalah menjadi bangsa yang bersumbu pendek. Yang artinya kita bisa terlalu cepat marah, terlalu cepat tersinggung, dan terlalu cepat menyimpulkan,” lanjut Emil.
Maka dari itu, Emil menyebut momentum Silaturahmi Anak Bangsa ini dapat menjadi ajang untuk lebih mengedukasi diri terhadap perbedaan di sekitar. Tak hanya itu, ia berharap agar acara ini juga dapat menjadi jembatan antar elemen masyarakat untuk bersatu kembali.
“Kami ada untuk mengusahakan tatanan masyarakat yang lebih baik. Mudah-mudahan keberadaan dukungan dari seluruh pihak bisa memperkuat komitmen kita untuk bersatu, untuk berdikari, untuk kreatif berkarya dan berkreasi, serta saling berbagi,” harapnya.
(red)