Haji dan Sisi Lain ‘Protokoler’ Yang Melelahkan

  • Whatsapp

Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

Tradisi mengadakan upacara pemberangkatan haji memang sudah melembaga di masyarakat. Berpamitan kepada orang di tanah air tidak hanya dilakukan terhadap keluarga tetapi juga dengan tetangga, dan teman. Persepsi yang dibangun ialah orang berhaji harus menyelesaikan urusan dosa yang berkaitan dengan hak Allah dan hak sesama. Yang menyangkut hak Allah akan diselesaikan waktu haji sedangkan yang menyangkut hak sesama ditempuh dengan minta maaf kepada sesamanya pula. Untuk mememenuhi maksud demikian tentu tidak mungkin harus mendatangi mereka satu persatu melainkan dengan cukup mengundang mereka ke rumah. Sebuah perhelatan pun kemudian digelar. Modus perhelatan ini memang berbeda antar yang satu dengan lainnya, tergantung kekuatan dana yang dimiliknya. Akan tetapi, sudah ada semacam kebiasaaan bahwa setiap calon jemaaah haji yang mau berangkat ke tanah suci ‘harus menyelenggarakan perhelatan tadi.

Tidak cukup sampai di situ, pada tahap pemberangkatan instansi yang berkompeten pun sudah mengataur tahapan-tahapan protokoler versi pemerintah, dalam hal ini Kemenag bersama Pemerintah Kabuten/Kota. Rasanya mungkin kurang afdhol bila keberangkatan haji ini tidak dilepas oleh orang nomor satu di kabupaten /kota setempat. Pada momen demikian pejabat pun seperti mendapat celah ruang menyampaikan misi politiknya. Konon, banyaknya orang yang berhaji menjadi indikator kesusksesan pembangunan di daerahnya. Atau meminjam istilah statistik, terdapat korelasi positif antara data jumlah orang yang berhaji dengan keberhasilan pembangunan.
Persoalannya sebenarnya bukan di situ. Untuk mencapai lokasi di kabupaten biasanya calon jemaah haji yang satu atau dua orang itu sering diarak dengan puluhan keluarga atau teman. Oleh karena itu jangan heran, jika kendaraan roda empat dan konvoi kendaraan bermotor para pengantar, tidak hanya membuat jalanan macet tetapi juga menciptakan polisi udara yang mengganggu, khususnya bagi calon jemaah haji yang sebelumnya sudah sangat kelelehan. Kita pun sering bertanya, mangapa hal demikian setiap tahun seperti sulit dihindari.
Penyelenggaran upacara (pemberangkatan dan kepulangan) haji menjadi fenomenal memang bukan tanpa alasan. Dalam literatur klasik dapat kita temukan sebuah rujukan mengenai hal-hal itu. Syihabuddin al-Qaliyubi salah satu ulama kenamaan dari Madzhab Syafi’i, antara lain mengemukakan, bahwa bagi orang yang berhaji dianjurkan mendoakan atau memintakan ampunan kepada orang yang tidak berhaji meskipun orang tersebut tidak memintanya. Begitu sebaliknya orang yang tidak berhaji disunahkan untuk meminta didoakan agar dosanya diampuni. Menurutnya, para ulama menyebutkan bahwa waktunya sampai 40 hari dihitung sejak kedatangannya. Rujukan demikian dalam praktik sering berbentuk tradisi ziarah haji, yaitu berkunjung ke tempat orang yang baru pulang haji secara bergantian. Sejumlah ulama kondang kekinian juga mengemukakan mengenai hal serupa. Sebagai contoh, Buya Yahya juga pernah berbicara mengenai hal ini. Terhadap orang yang baru pulang haji, menurut pengasuh pesantren “Al Bahjah” ini, kita harus berbaik sangka, bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai dosa. Oleh karena itu kita dianjurkan minta doa dari mereka. (Lipan6.com, 10 Juli 2023).

Selama tidak kurang dari seminggu, bahkan lebih, seorang “haji baru” yang sebenarnya sudah sangat kelelahan itu, harus melayani dan memenuhi permintaan doa dari setiap yang berkunjung ke rumah. Banyaknya orang berkunjung juga sering memancing godaan tersendiri bagi sang haji baru. Godaan itu ialah ketika harus bercerita mengenai pengalaman seputar perjalanan plus pengalaman spiritualnya. Pada saat demikian kalau tidak hati-hati sang haji baru, juga sering terpancing untuk bercerita sesuatu yang mestinya tidak elok diceritakan, seperti mengenai pengalaman spiritual pribadi yang mestinya hanya menjadi urusan dirinya dengan sang Mahapencipta. Bahkan, sering kita saksikan, seorang haji dengan tanpa beban, membicarakan pengalaman negatif (aib) sesama rekan haji, sebuah cerita yang tentu sudah mengarah ke perbuatan “ghibah”.

Terlepas setuju atau tidak, praktik upacara keberangkatan dan kepulangan haji yang sudah melembaga ini, memang memiliki rujukan teks-teks agama. Bahkan, kini upacara itu sudah menjadi satu sistem rangkaian ibadah haji itu sendiri. Kita pun sering susah membedakan mana yang pokok dan mana yang penunjang. Sebab, keduanya seolah sudah menjadi satu kesatuan ‘protokoler baku’ bagi setiap orang yang akan berhaji. Padahal, secara normatif, kenapa seseorang diwajibkan haji, yang paling pokok, karena dia mampu (istitha’ah). Parameter kemampuan itu bisanya meliputi 3 hal: mampu biaya, mampu melakukan perjalanan (termasuk keamanan), dan mampu memberikan tinggalan (nafkah) bagi keluarga yang ditinggalkan. Mengadakan upacara sebelum dan sesudah palang haji beserta oleh-oleh haji sejatinya hanyalah penunjang saja. Bagi yang mempunyai kelonggaran rizki bisa saja mengintegrasikan yang pokok dan penunjang ini menjadi kesatuan kegiatan. Sedangkan, bagi yang bermodal pas-pasan tidak perlu memaksa diri. Atau, bahkan takut mendaftar haji karena diahntui oleh biaya-biaya yang sebenarnya hanya menyangkut penunjang saja. Tampaknya, menjadi tugas para pendakwahlah memberikan pencerahan kepada masyarakat, agar para haji pas-pasan ini tidak ‘dihukum’ oleh masyarakat karena tidak memenuhi kriteria protokoler haji pada umumnya, dalam hal ini tidak bisa memenuhi hal-hal yang hanya penunjang tadi.

Di sisi lain ketatnya protokoler haji (karena tidak dibedakan lagi mana yang pokok dan yang penunjang), juga sering membuat jamaah haji mengalami problem individual. Saat menunaikan ibadah haji, akibat ribetnya tahapan upacara keberangkatan, sering membuat jamaah haji sudah sangat kelelahan. Banyak dari mereka yang harus kalah (kesehatannya) sebelum bertempur. Banyaknya jamaah haji yang meninggal di tanah suci, jangan-jangan sebagaiannya, disebabkan oleh hal-hal demikian. Saat tiba di tanah air, juga tidak kalah serunya. Upacara penyambutan juga sering menyita waktu istirahat yang seharusnya. Para pengunjung haji pun juga sering tidak terlalu peduli, bahwa orang yang sedang mereka elu-elukan dan tempat menaruh sejumlah ekspektasi dengan doa-doanya, adalah orang yang sedang “teler” akibat aktivitas haji dan perjalanan naik pesawat selama lebih kurang 8 jam nonstop beserta segenap aktivitas “tetek bengek” selama perjalanan pulang. Akhirnya, semua pihak tampaknya perlu berfikir keras untuk menyederhanakan protokoler haji ini. Wallahu a’lam.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait