Oleh: Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Kelas I A Semarang)
Istilah Hukum Waris Kontempoter (HWK) hanyalah penulis gunakan untuk menyebut Hukum Waris Indonesia saat ini setelah terbit berbagai ‘aturan’ hukum. Aturan hukum dimaksud ialah Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terbit atas dasar Inpres Nomor 1 Tahun 1991 dan berbagai putusan Mahkamah Agung.
Sebagaimana kita katahui KHI selain mengatur meteri hukum perkawinan, dan wakaf juga mengatur sekilas mengenai hukum kewarisan. Hukum Kewarisan dalam KHI ini hanya sekilas karena hanya mengatur sebagian kecil materi hukum waris yang sebenarnya sangat banyak dan pelik karena mempunyai dimensi ruang perbedaan pendapat sepeninggal rasulullah SAW. Akan tetapi, sekalipun terdapat hal baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh umat Islam, setidaknya dalam kitab-kitab fikih klasik madzhab Syafi’i. Peroalan itu ialah mengenai eksistensi wasiat wajibah dan kedudukan anak angkat. Kedua aspek ini dalam hukum waris biasanya dipisahkan dengan ketentuan pembicaraan pembagian waris. Mengapa demikian, karena orang yang menjadi subjek hukum penerima wasiat wajibah sebenarnya bukan ahli waris sehingga diabaikan dari kelompok mainstrean penerima bagian harta warisan baik melelalui jalur dzawil furud maupun melalui ashabat. Akan tetapi, tidak bisa dipisahkan dengan persoalan peninggalan orang yang meninggal dunia karena eksistensi mereka memang tidak bisa ditingalkan begitu saja ketika harta warisan dibagi kepada para ahli waris yang berhak.
Pembicaraan mengenai masalah peralihan harta orang yang meninggal dunia (pewaris), di Indonesia sebelumnya memang dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu: harta peninggalan dan harta warisan. Yang dimaksud harta peninggalan ialah semua harta bruto yang ditinggalkan pewaris, sebelum dikeluarkan untuk keperluan di luar konteks pembagian kewarisan, seperti: untuk kepentingan pengurusan jenazah (tajhiz) , untuk melunasi hutang pewaris, dan wasiat. Dan, kalau istri pewaris masih hidup juga dikeluarkan harta gono-gini untuk istri lebih dahulu. Memisahkan separuh harta gono-gini untuk istri sebelum dibagi kepada ahli waris, dalam praktik, memang mudah secara matematis, tetapi tidak mudah secara teknis. Dalam tataran ini rawan menimbulkan sengketa, terutama ketika pewaris saat masih hidup melakukan praktik perkawinan serial. Sedangkan, yang dimaksud harta warisan ialah ialah harta neto pewaris yang dapat dibagi kepada ahli waris yang berhak, baik melaui jalur dzawil furud maupun ashabah.
Kini pembicaraan mengenai pembagian harta peninggalkan sebelum dibagi kepada ahli waris harus melihat pula keberadaan wasiat wajibah. Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam wasiat wajibah diberi pengertian, yaitu suatu wasiat yang diperuntukkan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara. Menurut M. Yahya Harahap, wasiat wajibah ialah wasiat yang secara hukum dianggap ada sekalipun pewaris ketika masih hidup tidak pernah berwasiat. Cikal bakal hukum baru ini mula- mula muncul dalam kajian dan diskusi-diskusi di Universitas al-Azhar Mesir pada awal abad ke-20. Kemudian pada pertengahan abad tersebut wasiat wajibah sudah menjelma menjadi produk hukum di Mesir dengan ditetapkannya Undang Undang Wasiat Wajibah Nomor 71 Tahun 1336 H/1946 M. Undang-undang ini memberikan hak waris kepada cucu laki-laki dan cucu perempuan yang ayahnya sudah meninggal lebih dahulu dari pewaris (datuk). Di Indonesia cucu yang ditinggal mati oleh ayahnya sebelum pewaris meninggal telah dielaborasi dengan lembaga hukum “ahli waris pengganti”. Ahli waris pengganti ini semula hanya dikenal dalam Hukum Perdata (Pasal 841-848). Semula subjek hukum penerima wasiat wajibah sebagaimana tertuang dalam Pasal 209 KHI hanyalah orang tua angkat dan anak angkat. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan hukum, Mahkamah Agung ‘sering’
mengeluarkan putusan-putusan yang ternyata memberikan kemungkinan bahwa penerima wasiat wajibah bukan hanya anak angkat, seperti anak dan orang tua yang tidak seagama dengan pewaris. Alasan yang dijadikan pertimbangan kenapa orang tua angkat dan anak angkat mendapat pembagian harta peninggalan dari pewaris sekalipun bukan ahli waris adalah atas dasar rasa keadilan. Rasa keadilan muncul sebagai konsekuensi dari pengakuan hukum Islam terhadap eksistensi lembaga hukum pengangkatan anak versi Islam menurut UU Nomor 3 Tahun 2006 (vide: Penjelasan Pasal 49 mengenai yang dimaksud bidang perkawinan).
Sebagaimana kita ketahui pengangkatan anak dalam fikih klasik sama sekali tidak dibahas, karena lembaga pengangkatahn anak telah dihapus eksistensinya oleh Al Qur’an, yaitu Surat Al Ahzab ayat 4-5). Kasus Rasulullah SAW yang mengangkat Zaid menjadi latar belakang turunnya ayat tersebut. Setelah ayat tersebut turun, pemanggilan Zaid yang semula Zaid bin Muhammad (ayah angkat) kembali menjadi Zaid bin Haritsah (ayah kandung). Pengkatan anak yang demikian sebenarnya adalah warisan tradisi jahiliyah yang menyamakan kedudukan anak angkat seperti anak kandung. Oleh karena Islam menjunjung tinggi kemurnian nasab, maka prektik tersebut jelas bertentangan dengan Islam. Bukankah Zaid dan Muhammad SAW, sama sekali tidak ada hubungan darah. Hubungan keduanya hanyalah hubungan kedekatan anak dan orang tua angkat.
Seiring dengan perkembangan tata hubungan sosial yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat suku, ras, dan agama (SARA), jelas membuat hubungan manusia lebih terbuka. Beberapa di antaraanya didasari atas alasan tolong menolong yang dalam Islam juga menjadi salah satu perintah agama. Kemudian muncullah lembaga pengangkatan anak versi baru. Jika sebelumnya pengangkatan anak bermaksud menjadikan anak sebagai anak kandung dan hal demikian telah dilarang oleh Islam. Kini pengangkatan anak versi baru, pengangkataan anak tidak dimaksudkan menjadikan anak angkat sebagai anak kandung. Motivasi pengngkataan anak ini hanyalah dimaksudkan sebagai ta’awun, yaitu bermaksud menjadikan anak agar lebih sejahtera tanpa harus memutus hubungan nasab dengan orang tua kandungnya. Rasa keadilan hukum Islam Indonesia memandang naif, jika hubungan kedekatan antara orang tua angkat dengan anak angkat, tidak dibarengi dengan cara pandang terhadap harta yang dimiliki, baik harta orang tua angkat maupun anak angkat. Itulah sebabnya, mengapa dalam konteks peralihan harta peninggalan pewaris, menurut hukum Islam, anak angkat mempunyai kedudukan yang lebih menguntungkan. Hal ini disebabkan, di samping Dia akan mendapatkan harta warisan dari orang tua kandungnya karena hubungan nasabnya tidak terputus, Dia juga akan mendapat harta peninggalan orang tua angkatnya melalui wasiat wajibah. Hal yang sama berlaku pula bagi orang tua angkat.
Tampaknya cara pandang itu berlaku pula kepada anak yang beda agama dengan pewaris. Padahal, secara hukum karena perbedaan agama, hubungan kewarisan antara pewaris kepada anak yaang beda agama putus sama sekali. Bahkan, dalam tradisi hukum kawarisan perbedaan agama, tidak masuk dalam kategori pembahasan hajib mahjub karena secara eksistensi Dia memang sudah tidak dianggap sebagai ahli waris. Beda dengan pembahasan hajib mahjub, orang yang terlibat di dalamnya sebenernya adalah ahli waris. Hanya karena ada ahli waris yang lebih dekat, maka yang terhijab tidak mendapat bagian sama sekali atau bagiannya berkurang.
Menurut pandangan hukum kewarisan Islam Indonesia, cara pandang terhadap anak beda agama tidak adil. Secara empirik, ada beberapa alasaan yang dapat dijadikan pertimbangan. Pertama, anak kandung merupakan darah daging sendiri yang sudah tentu mempunyai hubungaan kasih sayang. Kasih sayang orang tua sering tidak dapat hilang begitu saja hanya karena beda keyakinan. Kasus hubungan kasih sayang Lucky Sondakh (ayah) dengan Angelina Patricia Pinkan Sondakh yang memeluk Islam, barangkali menjadi salah satu contoh nyata dari sekian kasus. Kasus pidana yang mendera ditambah dengan perbedaan keyakinan antara anak dengan ayah, sama sekali tidak melenyapkan hubungan kesih sayang keduanya. Kedua, memilih keyakinan (terlepas benar atau salah) adalah menjadi bagian dari hak asasi manusia (HAM). Islam sendiri telah mendeklarasikan menganai kebebasaan memilih agama ini dengan kalimat sangat ‘vulgar’ : “Tidak ada paksaan dalam (memilih) agama.” Ketiga, hubungan kooperasi. Seorang anak dengan orang tuanya sering tidak hanya mempunyai hubungan kasih sayang, tetapi juga hubungan kooperasi atau kerja sama. Seorang anak yang beda agama dalam satu keluarga sering mempunyai hubungan karja sama yang berakibat terkumpulnya sejumlah harta milik orang tuanya. Alangkah tidak adil jika hanya karena perbedaan agama ‘saham’ pemikiran dan tindakan anak tersebut lalu menghalanginya untuk mendapat bagian jerih payahnya.
Dalam konteks di atas, maka munculnya Putusan Mahkamah Agung Kamar Agama Nomor No 51/K/AG/1999, yang tetap memberikan bagian harta peninggalan ahli waris beda agama melalui wasiat wajibah jelas merupakan terobosan hukum Islam ‘versi baru’. Di satu sisi putusan ini dimaksudkan tetap tidak meninggalkan fikih mainstream, yaitu perbedaan agama yang mengahalangi seseorang menjadi ahli waris. Di sisi lain, tetap menglelaborasi rasa keadilan, dengan pertimbangan rasa keadilan sesuai dengan perkembangan masyarakat moderen.
Tetapi apakah wasiat wajibah bagi ahli waris beda agama tersebut merupakan pendapat yang sama sekali baru? Menurut Erlan Naofal dalam tesisnya yang berjudul “Wasiat Wajibah menurut Ibnu Hazm dan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam Indonesia” sebenarnya pendapat yang memberikan wasiat wajibah bagi ahli waris beda agama merupakan pendapat Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm, yang lahir di Cordova Spanyol 7 November 994 M dan wafat pada tanggal 15 Agustus 1064 M di Mantha Lisha, dekat Sevilla. Tampaknya, pendapat Ulama Madzhab Dhahiry ini, sesuai dengan konteks perkembangaan hukum masa kini. Atau, dengan kalimat lain, pendapat yang dijadikan alasan putusan Mahkamah Agung, sejatinya bukan pendapat yang mengada-ada. Tetapi, sudah menjadi wacana para Ulama tempo dulu. Dengan bungkai kaidah: “taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azman wa al-amkan”, dalam tradisi hukum islam memilih pendapat yang sesuai dengan perkembangan hukum saat ini sah-sah saja. Bahkan, menjadi suatu keharusan jika situasi dan kondisi menghendakinya dengan bingkai kaidah: “al-hajjah tanzilu manzilat al-dharurat.”(Kepentingan mendesaak bisa menempati posisi darurat). Wallahu a’lam.