Ihwal ‘Bajingan’ Rocky Gerung

  • Whatsapp

Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

Di Indonesia ini mungkin hanya ada 2 orang yang setiap berbicara hadirin dibuat mencermati setiap celah kalimat yang diucapkan. Dua orang itu adalah Gus Dur dan Rocky Gerung (RG). Bedanya, Gus Dur selalu ditunggu “joke-joke” barunya di balik kritik-kritik sosialnya, sedangkan RG kata-kata pedas apa yang akan muncul di setiap kritiknya terhadap pemerintah. Gus Dur selalu membuat “ger”, sedangkan RG meskipun selalu ‘ngangeni’ penggemarnya, yang pasti selalu membuat telinga panas ‘lawan’. Tetapi, yang pasti keduanya memang sama-sama menjadi sumber berita menarik.

Khusus RG, laki-laki asal Manado ini menjadi sangat terkenal berkat forum diskusi elit bernama ILC (Indonesia Lawyer Club). Kalimat yang tersusun rapi dengan logika-logika tingginya, berhasil membuat setiap orang yang mendengar selalu terkesima. Namun bukan hanya itu, pemilihan diksi-diksi yang kontroversi dan tanpa “tedheng aling-aling” sering juga membuat siapa pun yang tidak siap kritik akan dibuatnya meradang. Ucapan kata “dungu”, “tolol”, “bodoh” dan sejumlah kata ‘makian’ lainnya, pasti akan membuat darah mendidih lawan debat. Terakhir, yang membuatnya cukup viral adalah kata “bajingan tolol” yang diucapkan dalam salah satu ‘pidato politiknya’.
Sekilas Rocky Gerung

Tampaknya, banyak ‘orang kampung’ yang belum mengenal siapa RG. Dari beberapa sumber dapat kita temukan sekilas mengenai jati diri laki kelahiran Manado 20 Januari 1959. Dia memang seorang filsuf, akademisi, dan intelektual publik Indonesia. Ia merupakan salah seorang pendiri Setara Institute dan fellow pada Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D). Ia pernah mengajar selama 15 tahun di Universitas Indonesia. Kakak dari Prof. Dr. Ir. Grevo Soleman Gerung, M.Sc.–yang saat ini menjadi dosen di Universitas Sam Ratulangi–ini, mulai berkuliah di Universitas Indonesia (UI) pada tahun 1979 pertama kali masuk ke Jurusan Ilmu Hubungan Internasional yang saat itu tergabung dalam Fakultas Ilmu-ilmu Sosial. Namun, RG tidak menyelesaikan kuliahnya di jurusan tersebut. Selama berkuliah, RG dekat dengan para aktivis berhaluan sosialis seperti Marsillam Simanjuntak dan Hariman Siregar salah seorang tokoh peristiwa Malari 1974.

Setelah lulus dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (UI), dengan jurusan Ilmu Filsafat pada tahun 1986, RG kembali ke UI dan mengajar di Departemen Ilmu Filsafat, yang kini tergabung di almamaternya, sebagai dosen tidak tetap hingga awal 2015. Ia berhenti mengajar disebabkan keluarnya UU No. 14 Tahun 2005 yang mensyaratkan seorang dosen harus minimal bergelar magister; sedangkan Rocky hanya menyandang gelar sarjana. Ia tercatat mengampu mata-mata kuliah seperti Seminar Teori Keadilan, Filsafat Politik, dan Metode Penelitian Filsafat; ia juga pernah mengajar pada program pascasarjana. Salah satu mahasiswa yang dibimbingnya adalah aktris Dian Sastrowardoyo.
Pegembaraan intelektualitasnya membuatnya juga sering bersentuhan dengan tokoh-tokoh seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Azyumardi Azra. Bersama keduanya, RG ikut mendirikan Setara Institute, sebuah wadah pemikir di bidang demokrasi dan hak asasi manusia, pada 2005. Dan, akhir-akhir ini dia memang distigmakan sebagai katalisator para ‘pembenci’ kebijakan pemerintah dengan segenap subjektivitasnya. Di matanya, semua kebijakan pemerintah saat ini, seolah tidak ada yang benar sama sekali. Maka tidak heran, jika dia selalu ‘laris manis’ menjadi pembicara di berbagai forum yang nota bene kritis dengan pemerintah.

‘Bajingan’ (Menurut) RG
Sebagaimana kita ketahui kata mutakhir yang diucapkan RG ialah menyebut presiden bajingan tolol. Ucapan itu berhasil membuat para pendukung Jokowi meradang dan melaporkannya ke Bareskrim Polri. yang ditujukan kepada presiden juga membuat meradang para pendukung presiden Jokowi dan dan disayangkan oleh para akademisi. Bahkan, kepala staf rumah tangga kepresidenan pun, bereaksi keras dengan kesiapannya ‘pasang badan’.
Entah karena ketakutan atau karena alasan lain, rupanya sama seperti Emha menyebut Presiden Jokowi Firaun dan kemudian minta maaf setelah mendapat reaksi luas. Belakanyan RG pun tampaknya juga berusaha meluruskan maksud diksi yang dilontarkan.
Menurut RG, kata bajingan yang dirujuknya kepada Jokowi merupakan akronim dari Bahasa Jawa yaitu “Bagusing jiwo angen-angening pangeran” yang disingkat menjadi kata “Bajingan”. Kalimat tersebut menurutnya memiliki konotasi bagus, yaitu “Baiknya jiwa adalah harapan Tuhan.”. Secara antropologi, kata RG, kata “bajingan” ditujukan untuk para kusir gerobak sapi. Mereka, selain membantu distribusi pangan, pada zaman peperangan ikut menyembunyikan para pejuang di bawah jerami. “Jadi kusir dokar itu disebut bajingan karena dia berbuat baik kepada manusia. Karena itu disayang Tuhan. Yang ketika kemerdekaan, si bajingan ini menyembunyikan pejuang kita di bawah jerami, makanan sapi itu,” katanya.
Apakah klarifikasinya akan menghapus ‘dosa’ ucapannya? Mengenai hal ini dapat lihat dari dua aspek. Pertama, dari sisi ‘terminologi’ arti bajingan. Kedua, dari sisi konteks pembicaraan.
Menurut, Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI kata bajingan selain dimaknai sebagai “penjahat” atau “pencopet”, juga merupakan ungkapan yang berkaitan dengan kata makian yang bermakna kurang ajar. Dalam buku “Mengulas yang Terbatas, Menafsir yang Silam” karya Mahasiswa Prodi Sejarah Universitas Sanata Dharma 2015, bajingan dalam KBBI merujuk kepada kata dasar bajing yang berarti tupai, yakni binatang pengerat yang sering mencuri kelapa dan dianggap sebagai pengganggu masyarakat. Dengan demikian kata bajingan memang berkonotasi negatif. Setidaknya hal ini juga diuangkap oleh Guru besar linguistik dari Universitas Indonesia (UI) Prof. Rahayu Surtiati menyorot Rocky Gerung terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengucapkan ‘bajingan tolol’ dalam pidato politiknya. Kalimat tersebut dianggap tidak pantas karena memiliki makna buruk. (https://www.indopos.co.id/headline).
Dari sisi konteks pembicaraan, kata bajingan yang diucapkan RG, sama sekali di luar konteks yang dimaknai RG dalam klarifikasinya. Hampir semua tahu pembicaraan RG dalam keseluruhan itu sama sekali tidak mengarah kepada pujian kepada presiden secuil pun. Apalagi, jika dikaitkan dengan rekam jejak (track record) keseluruhan ucapannya tentang presiden di barbagai forum. Sosoknya yang selalu antagonis sudah menjadi representasi politik siapa pun yang selama ini sangat benci dengan Jokowi baik sebagai pribadi maupun presiden. Dengan ilustrasi demikian sangat sulit menerima kata “bajingan tolol” dimaknai positif sekaligus ‘klarifikasi’ yang disampaikan. Kata senada dapat kita lihat pada pengucapan kata “dancuk” . Bila diucapkan oleh “Arek Suroboyo” dangan nada gembira meskipun sambil teriak tentu berbeda konotasinya jika diucakpan dalam suasana marah sembari melotot.
Penjelasannya mengenai hakikat makna kata “bajingan” di atas, tentu dapat dianggap sebagai sikap ‘pengecut’ oleh para pendukung Jokowi yang marah. Kemarahan mereka seolah mendapat dukungan oleh para akademisi, setidaknya dari 2 pakar pada dua perguruan tinggi ternama, yaitu UGM dan UNS. Sebagaimana kita ketahui pemaknaan bajingan sebagai “bagusing jiwo angen-angening pangeran” yang berarti orang yang dicintai Tuhan menurut pakar linguistik Profesor I Dewa Putu Wijana (UGM) merupakan akronim sebatas “cocoklogi” (ilmu othak-athik gathuk) belaka. Hal senada diungkap Guru Besar Etnolinguistik Bidang Onomastik FIB UNS, Prof Sahid Teguh Widodo, bahwa pemaknaan RG tersebut merupakan pemaksaan konsonan (BJG).
Terlepas dari pro kontra di atas, siapa pun di negeri ini tampaknya perlu menahan diri. Sebagai bangsa yang religius dan manjunjung tinggi tata krama, para meter baik dan buruk, sopan dan pongah, di samping rujukannya mudah didapat, juga mudah dirasakan. Dua hal itu menjadi asset bangsa sekaligus menjadi jati diri kita selama ini. Saat bangsa bangga dengan dua hal itu, mestinya jangan sampai ada seorang pun yang berusaha merusaknya. Ketika, kebebasan dibuka lebar, jangan sampai membuat kita lupa diri atas jati diri tersebut. Dalam konteks berbangsa, Ahmad Syauqi Bey, mengingat kita: “Sesungguhnya eksistensi bangsa itu terletak pada akhlaknya. jika akhlak itu hilang, maka hilanglah eksistensi bangsa itu”. Salah satu etika (akhlaq) itu ialah berkata dengan santun. Leluhur kita (Jawa) juga mengajarkan: “Ajining dhiri ana ing lathi” yang biasanya dimaknai, bahwa ucapan memegang peranan penting bagi seseorang karena diyakini harga diri seseorang ditentukan oleh ucapan. Oleh karena itu seseorang harus berhati-hati menjaga ucapannya. Dan, masih banyak lagi petuah bijak leluhur yang senada dengan itu.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait