Ihwal “Kol Buntet” dan Lailatul Qadar

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

Bagi umat Islam, ramadhan selalu menyisakan kenangan tersendiri. Torehan kenangan ini ternyata tidak hanya dialami oleh orang yang secara khusus berpuasa dan beramaliayah ramadhan melainkan oleh siapa saja. Tidak saja oleh orang tua, tetapi juga anak-anak. tidak saja laki-laki tetapi juga perempuan, dan tidak saja orang berada tetapi juga orang miskin. Tentu, baik kenangan negatif (buruk) maupun positif (baik). Yang negatif misalnya, ‘beteriak-teriak’ memakai toa masjid untuk membangunkan orang saur. Di hari biasa teriak-teriak dengan mikrofon dini hari, pasti akan dimarahi banyak orang. Tetapi, di bulan ramadhan, meskipun ‘mengganggu’ seperti bukan sebuah pelanggaran. Ada pula yang ‘karena ramadhan’ harus kehilangan keluarganya atau menderita cacat permanen akibat menjadi korban ledakan petasan atau mendapat musibah lain. Yang positif, misalnya bisa berbuka bersama, bertarawih, bertadarus. Pada bulan-bulan ramadhan, variasi makanan pun juga semakin marak, kegiatan ekonomi sekaligus perputaran uang juga meningkat akibat variasi kebutuhan yang juga meningkat. Semua aktivitas positif tersebut seolah menjadi argumen bisu kebenaran ‘fatwa’ para pendakwah, bahwa ramadhan memang merupakan bulan penuh berkah.

Kenangan yang satu berikut tentu lebih spesifik. Ketika ramadhan di banyak tempat banyak berburu “lailatul qadar”. Malam yang dalam Al Quran mendapat predikat sebagai malam yang ‘khasiatnya’ lebih ‘ampuh’ dari seribu bulan ini, sering dimaknai bermacam-macam oleh orang awam. Meskipun semuanya bermuara kepada upaya menjunjung tinggi keutamaan “lailatul qadar”, tetapi tidak semua pemaknaan itu mempunyai landasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan, beberapa di antaranya sudah mengarah ke takhayyul. Sebagai contoh, ketika suatu hari penulis bersilaturahmi saat lebaran, dengan penuh percaya diri tuan rumah bercerita tentang seorang kiai yang berhasil mendapatkan “lailatul qadar”. Akibat ‘nggentur’ (bersungguh-sunguh) beribadah selama ramadhan kiai tersebut, suatu ketika saat sedang khusuk iktikaf di masjid dengan keremangan lampunya, tiba-tiba mendengar sebuah benda kecil misterius jatuh. Ia pun kemudian mencoba mendekati sumber suara untuk memastikan benda apa gerangan yang jatuh itu. Setelah diambil teryata benda itu berupa “kol buntet”. Sekali lagi, ini hanya sebuah cerita dari tuan rumah yang saya kunjungi saat lebaran, bukan dari yang mengalami secara langsung.

Dalam mitos, oleh orang-orang tertentu kol buntet diyakini sebagai salah satu benda magis yang sering dicari. Benda–yang juga dikenal dengan nama “keong buntet”–itu juga sering dianggap sebagai salah satu sarana spiritual yang diyakini sebagian orang mengandung banyak tuah seperti keselamatan, kekayaan, penglaris, rezeki dan juga sebagai pagar gaib. Jika dilihat secara fisiknya, kol buntet hanya berbentuk sebuah batu seperti keong yang pada prosesnya terjadi dari cangkang keong mati serta tertimbun tanah selama beberapa ratus tahun.
Begitulah salah satu segmen kisah seputar “lailatul qadar”. Tentu masih banyak cerita ‘mistis’ lain yang sering digunakan untuk ‘menstigmakan’ “lailatul qadar” menjadi salah satu pengalaman spiritual seseorang. Cerita yag sering dikemas sedemikian rupa dan menjadi gunjingan saat suasana (silaturahmi) lebaran, sering mendapat anggukan berkali-kali oleh yang mendengar. Cerita itu mirip pengalaman spiritual orang haji, yang juga sering dibumbui kisah mistis, tentang bagaimana suka dukanya mencium “batu surga” (hajar aswad) di salah satu pojok Ka’bah. Anggukan demi anggukan pasti terlihat di sela-sela cerita. Apalagi, jika yang bercerita orang dengan status sosial tertentu dan yang mendengarkan orang awam. Tetapi jika mendengar orang yang berpendidikan cukup, pastilah anggukan itu hanya sekedar anggukan basa-basi agar yang bercerita merasa puas. Sebab, cerita pengalaman serupa insiden kol buntet itu tetap sulit dipertanggungjawabkan. Di samping karena bukan dari orang pertama (pelaku langsung) alias hanya cerita dari mulut ke mulut, juga sulit dicari landasan naqlinya.

Lantas, apakah “lailatul qadar”dan wacana yang berkembang, mengapa Allah perlu memberikan kepada umat Nabi Muhammad, dan bagaimana sikap kita?
Diskursus tentang “lailatul qadar”, diawali ketika membicarakan Surat Al-Qadar yang menceritakan tentang ‘metodologi’ turunnya Al-Qur’an. Selanjutnya oleh rasulullah SAW “lailatul qadar”juga dihubungkan dengan kemuliaan bulan ramadhan. Dalam hadits banyak diterangkan mengenai keberadaan “lailatul qadar”. Sebagai contoh, secara spesifik rasulullah, walaupun tidak secara langsung menyebutnya, mengatakan bahwa dalam bulan ramadhan ada satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Sebagimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, rasulullah SAW bersabda: “Telah datang bulan ramadhan, bulan penuh berkah, maka Allah mewajibkan kalian untuk berpuasa pada bulan itu, saat itu pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, para setan diikat dan pada bulan itu pula terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan,” (HR. Ahmad). Dan, masih banyak hadits-hadits sahih yang dengan langsung menyebut istilah “lailatul qadar”.

Abi Abdul Jabbar mengutip pendapat, Ibnu Mukarram yang mengatakan, bahwa Al-Qadr, secara terminologi berarti keputusan yang ditetapkan oleh Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Tinggi dan Dia memberlakukannya terhadap segala perkara. Dalam Al-Qur’an, kata Al-Qadr digunakan untuk menunjukkan makna yang beragam, seperti membatasi, menetukan, mengagumkan, menguasai, mengukur, dan sebagainya. Sedangkan dalam surat Al-Qadr sendiri, kata Qadr, memiliki makna “kemuliaan”. “Lailatul qadar” adalah malam kemuliaan. (madaninews.id, 03/05/2021).
Tentang keutamaan “lailatul qadar” juga dikenal dengan malam yang lebih baik dari seribu bulan ( khayrun min alfi syahrin) ini, Ibnu Jarir At-Thabari mengatakan (pahala) beribadah pada malam tersebut lebih utama daripada malam-malam yang tidak bertepatan pada “lailatul qadar”. Artinya banyak kebaikan-kebaikan yang akan diberikan pada malam itu. Jadi, sangat disayangkan jika tidak dipergunakan dengan baik. Meskipun, malam yang lebih baik dari seribu bulan, bukan berarti seseorang harus menghiraukan malam di bulan-bulan lainnya.

Kalimat “lailatul qadar” dalam ayat di atas diulang kembali setelah ayat pertama, yaitu pada ayat kedua dan ketiga. Padahal, bisa saja pada dua ayat tersebut cukup menggunakan “dhamir” (pronomina) yang merujuk pada kalimat “lailatul qadar” pada ayat pertama, tanpa mengulangnya pada ayat kedua dan ketiga.
Tentang sebab turunnya ayat, Ibnu Katsir dalam tafsirnya menulis sebuah riwayat bahwa Nabi SAW suatu ketika menyebut seorang laki-laki Bani Israil yang selalu menyandang pedangnya untuk berjihad di jalan Allah selama seribu bulan. Mendengar cerita Nabi itu pun, para sahabat takjub. Lantas, Allah menurunkan ayat “Inna anzalnahu fi lailatil qadr …….dst. yang pada pokoknya ada satu malam yang lebih baik dari laki-laki penyandang pedang yang berjihad selama seribu bulan tersebut.

Dengan sumber “khabar israiliyat”, Syaikh Utsman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakiri al-Khubawi dalam Kitabnya Durratun Nasihin, menceritakan kisah laki-laki Bani Israil tersebut agak panjang. Laki-laki itu tidak lain bernama Syam’un al Ghazi. Kehebatannya selain memiliki fisik yang sangat kuat, pada malam hari selalu beribadah dan pada siang harinya selalu berpuasa dan bertempur sendirian melawan orang kafir. Aktavitas demikian dia jalani selama seribu bulan lamanya. Cerita tentang kehebatan laki-laki itu tentu sangat menakjubkan sekaligus membuat iri para sahabat. Lantas diturunkanlah surat al-Qadar sebagai motivasi umat Muhammad SAW agar tidak kecil hati.
Dalam filem Barat kisah laki-laki kuat tersebut diwujudkan dengan tokoh bernama Samson dari Gazza bersama wanita (istrinya) bernama Delilah. Di Indonesia filem Samson tersebut dibuat dalam bentuk komedi dengan tokoh Samson Betawi (H. Benyamin Sueb) dan Siti Duile ( Yatni Ardi ). Filem yang disutradarai Nawi Ismail ini dibuat pada tahun 1975 dan menjadi salah satu filem komedi yang paling disukai masyarakat. Yang jelas surat al qadar itu turun karena dilatarbelakangi oleh ‘sikap iri’ para sahabat tentang kehebatan umat dahulu yang rata-rata berumur panjang sehingga lebih banyak kesempatan beribadah guna mendulang pahala. Dengan “lailatul qadar”, rupanya Allah ingin memastikan bahwa usia panjang bukan satu-satunya cara untuk itu. Kesungguhan ibadah pada “lailatul qadar” bahkan bisa melebihi kesempatan seribu bulan umat dahulu.

Hanya saja, saat kaum muslimin harus mengimani adanya “lailatul qadar”, ternyata tidak ada satu pun berita sahih tentang kapan lailatul qadar itu. Aneka pendapat ulama tentang teori “lailatul qadar” hanya upaya pendekatan sebuah kebenaran. Kepastiannya ternyata tetap menjadi sebuah misteri yang hanya diketahui Allah SWT. Rasulullah SAW sendiri lewat hadits-hadits sahih, hanya menghimbau umatnya, agar bersungguh mendapatkan “lailatul qadar” pada malam-malam sepuluh terakhir ( fil asyril awakhiri ) bulan ramadhan. Himbauan rasulullah SAW ini, secara empirik sangat tepat. Sebab, pada masa-masa akhir ramadhan ini pada umumnya orang sudah mulai kelelahan. Pada saat yang sama karena kesibukan mempersiapkan lebaran mengakibatkan umatnya semakin kurang berkesempatan beraktivitas ibadah seperti gairah yang terjadi pada awal-awal ramadhan. Oleh kerana itu, himbauan agar bersungguh-sungguh mendapatkan “lailatul qadar” pada sepuluh hari terakhir tersebut, juga harus dipahami agar umatnya jangan sampai kendor sedikit pun memanfaatkan ramadhan sebagai momentum penting untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah sebagai bentuk “refleksi personal” atas sepak terjang pada 11 bulan selain ramadhan. Secara naqli himbauan untuk berefleksi personal ini, tercermin pada doa yang paling dianjurkan untuk menyambut “lailatul qadar”, yaitu: ”Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni” (Ya Allah sesungguhnya Engkau Mahapemaaf yang menyukai maaf, karenanya berikanlah maaf kepdaku). Wallahu a’lam.

BIO DATA PENULIS
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 199103 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama, IV/e
Pendidikan : S-1 Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 1988
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni;
Pengalaman Tugas : – Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
– Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
– Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
– Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
– Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA 2016-2021
– Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A 2021-2022.
Sekarang : Hakim Tinggi PTA Jayapura, 9 Desember 2022- sekarang

Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait