“Tujuan utamanya jelas, untuk meningkatkan pendapatan petani dengan pola subsidi, sebagai konsekwensi dari program pemberian jaminan pendapatan petani setara dengan rendemen 8,5 persen. Ini terobosan baru dari menteri BUMN yang patut didukung,” kata Abdul Wachid, Rabu (25/5/2016).
Menurut Wachid, upaya menteri BUMN yang menjamin pendapatan petani tebu setara dengan 8,5 persen adalah kebijakan yang mempunyai tujuan mulia.
“Selama ini lebih 70 persen petani punya rendemen tebu mereka di bawah 8,5 persen, sehingga kalau Bu Menteri BUMN ingin memberikan jaminan pendapatan setara 8,5 persen dengan ditopang dari pendapatan PG (Pabrik Gula,red) mengolah raw sugar, itu patut dihargai,” ungkap Wachid.
Anggota Komisi VI sekaligus Wakil Ketua Panja Gula DPR RI ini menandaskan, raw sugar juga diperlukan pabrik gula milik BUMN saat musim giling sekarang.
Gula mentah itu sekaligus akan menyelamatkan PG dari kemungkinan mengalami ‘idle capacity’ akibat kurangnya pasokan tebu sebagai dampak dari menurunnya produksi tebu akibat anomali cuaca pada musim tanam 2015/2016, serta kondisi iklim saat musim giling sekarang diprediksi bersamaan dengan musim hujan.
“Sesuai prediksi BMKG ini khan sudah masuk periode La Nina, musim penghujan siklus lima tahunan. Kondisi ini menjadi gangguan pasokan tebu kepada pabrik gula yang tengah menjalani musim giling,” papar pria asal Jepara ini.
Gula mentah impor tersebut sekaligus akan mampu menghambat berhentinya pabrik akibat terganggunya pasokan tebu sebagai bahan baku. Selain itu juga untuk menjaga agar rendemen tidak melorot tajam.
“Kalau rendemen bisa dijaga maka petani akan diuntungkan, dan dalam jangka panjang mempunyai makna besar pada percepatan swasembada gula di tanah air karena akan makin antusias bercocok-tanam tebu, sehingga PG tidak lagi kekurangan bahan baku,” papar Wachid.
Ditambahkan, saat ini petani sudah mulai menikmati keuntungan menanam tebu. Sehingga kondisi ini perlu dijaga agar petani tidak lari ke komoditas lain.
Wachid mengingatkan pemerintah yang telah menggagas program dan visi ke depan pada pencapaian percepatan swasembada gula tidak terjebak pada agenda tersembunyi pihak tertentu. Wachid minta pemerintah fokus pada peningkatan pendapatan petani dan revitalisasi pabrik-pabrik gula.
“Bila ada kelompok mengatasnamakan petani yang tiba-tiba menolak PTPN untuk melakukan impor raw sugar, padahal jelas-jelas impor tersebut terkait upaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani, itu hal yang patut diwaspadai. Apalagi merekalah yang sebelumnya menyetujui impor jutaan ton untuk industri gula non PTPN,” kata Wachid.
Dalam kaitan ini Wachid menunjuk pada kasus pengajuan permohonan impor raw sugar oleh 7 PG swasta pada 2015 lalu yang angkanya mencapai 775.000 ton dengan alasan sebagai fasilitasi investasi dan ‘commitioning test’ serta pemanfaatan idle capacity untuk investasi revitalisasi PG.
“Itu belum termasuk impor raw sugar yang dilakukan oleh 11 PG Rafinasi yang jumlahnya mencapai jutaan ton dan peredaran serta pendistribusiannya sering bocor ke pasar dan dijual sebagai gula konsumsi,” ungkap Wachid.
Anehnya, lanjut dia, pengajuan impor raw sugar oleh PG swasta yang jelas-jelas tidak berperan secara signifikan terhadap petani tebu malah didiamkan, bahkan mendapat rekomendasi dari pihak penentang yang mengatasnamakan petani tebu.
“Ini kan aneh dan perlu dipertanyakan. Ada kepentingan apa di balik penentangan impor raw sugar, dan untuk kepentingan ‘siapa’ rekomendasi impor raw sugar yang diberikan oleh organisasi yang mengatasnamakan organisasi petani tebu ke PG swasta itu,” tutup Wachid. (Ganefo)