Jakarta, beritalima.com| Fenomena yang berkembang di Indonesia terkait tradisi beramal (charity) di satu sisi dan kedermawanan (filantropi) di sisi lain,menurut pengamatan Dr Yudi Latief, cendikiawan yang pernah menjabat Kepala Pelaksana Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) di era Presiden Jokowi selama setahun (2017) – belum berkembang dengan baik.
Yudi mengemukakan, “charity biasanya berbentuk pemberian yang spontan, informal, tidak perlu riset-riset dan pemikiran yang bersifat ilmiah. Sifat solidaritasnya emosional dan biasanya kurang akuntabel juga. Dan biasanya tidak memeriksa sebab-sebab dari suatu kemiskinan itu karena apa, mengapa itu terjadi.”
Oleh karenanya, ia mengusulkan agar tradisi charity di Indonesia yang sudah adaperlu melakukan transformasi ke praktik filantropi yang lebih akuntabel, ilmiah, dan profesional. Yudi membahas hal ini dalam diskusi tentang filantropi di Indonesia, digelar Perkumpulan Penulis Satupena di Jakarta (21/3).
Yudi mengakui, masyarakat Indonesia memiliki tingkat solidaritas sangat tinggi. Ini terlihat jika ada bencana banjir, dan sebagainya. “Tiap tahun negara memberikan ratusan triliun untuk bantuan sosial. Tetapi ironisnya tingkat kemiskinan di Indonesia tetap menjulang tinggi,” ujar Yudi.
Yudi menambahkan, jika kita memakai standar Bank Dunia, lebih dari 50 persen populasi Indonesia masih termasuk dalam kemiskinan. “Kelas menengahnya ‘kghlan baru 20 persen, itu pun masih banyak yang rentan kembali ke kemiskinan,” ucapnya.
“Hal ini membawa kita untuk melakukan transformasi dari praktik-praktik charity, yang sudah lama tertanam dalam tradisi Indonesia, menjadi praktik-praktik filantropi,” ajak Dewan Pembina Dompet Dhuafa ini.
Maka, kata Yudi, dalam pemikiran filantropi, charity itu masih dikategorikan keterbelakangan mental. Memang niatnya mulia, tapi pendekatannya masih terbelakang dan kurang maju dalam praktik tata kelolanya.
Yudi menegaskan, perlu lompatan transformasi, dari charity menuju bentuk giving yang lebih ilmiah, lebih profesional, lebih mengetahui sebab-sebab dari suatu persoalan kemiskinan, dan bagaimana kita bisa mengatasinya secara efektif berkesinambungan.
“Makin ilmiah, makin efektif cara intervensinya, dan profesional, itu disebut sebagai filantopi. Makin spontan, informal dan kurang akuntabel, itu disebut charity. Di Indonesia ini, yang banyak berkembang itu charity,” papar Yudi.
Jurnalis: Abriyanto