Ini Dia Pekerja Seks Alexis Sejak Era Macao Po

  • Whatsapp

JAKARTA, beritalima.com –
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebut ada 104 tenaga kerja asing di hotel Alexis. Mereka berasal dari Thailand, Vietnam, Uzbekistan, China, dan Amerika Latin.

Sebetulnya kehadiran perempuan-perempuan mancanegara dalam dunia prostitusi Jakarta sudah dimulai sejak era kolonial Belanda. Mereka didatangkan oleh jaringan germo Cina dan Portugis untuk memenuhi berahi orang-orang Belanda di Batavia.

Alwi Shahab menuliskan keberadaan mereka dalam bukunya, Saudagar Baghdad dari Betawi. Para pekerja seks itu biasa mangkal di daerah yang dikenal dengan nama Macao Po, (kini daerah dekat Stasiun Beos atau Jakarta Kota). Germo-germo Portugis dan Cina menempatkan mereka di rumah-rumah bertingkat.

“Disebut Macao Po karena WTS-nya (wanita tuna susila) berasal dari Macao oleh jaringan germo Portugis dan Cina untuk menghibur warga Belanda di Binnestadt,” tulis Alwi.

Sastrawan Yapi Panda Abdiel Tambayong alias Remy Sylado, mengungkapkan sejatinya kaum perempuan dari Macau yang datang ke Batavia tak semuanya menjadi pelacur. Sebab mereka datang bersama para pekerja yang dibawa Belanda. Kondisi di Macau kala itu sedang susah di bawah kekuasaan Manchuria.

Penghuni Macao Po pun, kata Remy, kemungkinan besar tak hanya diisi oleh pelacur asal Macau, tetapi juga ada dari daerah setempat. Hanya saja jumlah laki-laki pendatang Cina lebih banyak sehingga beberapa dari mereka menikah dengan orang lokal. “Kalau pelacuran pertama tetap ada orang sekitar, tidak hanya orang Macau,” jelasnya.

Keberadaan Macao Po mengganggu mata Gubernur Jenderal Belanda Jan Pieterszoon Coen (1619-1623). Ia dikenal sebagai seorang religius yang sangat anti dengan pergundikan dan pelacuran. Tetapi hampir seluruh pejabat bawahannya hingga orang Belanda yang tak lagi bekerja dengan VOC (burger), memiliki gundik dan mampir ke Macao Po.

Leonard Blusse menuliskan ketidaksukaan Jan Pietersz ini dalam bukunya, Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Ia mengirimkan surat kepada Heeren XVII/ Tuan Tujuh Belas (Dewan Komisaris VOC), untuk mendatangkan perempuan muda berumur 10-14 tahun dari panti asuhan di Belanda.

Rencananya mereka akan dirawat baik-baik dan ketika sudah akil balik menikah orang Belanda di Batavia. “Jika perempuan tersedia, pasar-pasar perdagangan Hindia akan menjadi milik Anda,” tulis Jan Pietersz dalam surat itu.

Namun usul ini ditolak. Pejabat VOC di Belanda lebih suka perkawinan campur orang Belanda dengan perempuan sekitar. Perempuan tersebut akan menjadi penurut dan menghasilkan keturunan yang sama patuhnya.

Keinginan membersihkan Batavia dari pelacuran-pun pupus. Orang-orang Belanda datang ke Indonesia tanpa membawa pasangan, Jan Pietersz tak dapat membendung merebaknya pelacuran.

Macao Po-pun terus berkembang hingga jabatan gubernur jenderal beralih. Pada abad ke-17, bukan hanya orang Belanda yang bertandang ke Macao Po, orang-orang Cina berduit-pun turut menyambangi tempat itu.

Bertambahnya jumlah penduduk sempat membuat khawatir pemerintahan kolonial atas kesehatan prajurit VOC. Mereka mewajibkan pemisahan prostitusi untuk tentara dengan sipil. Dari kebijakan tersebut lahirlah Gang Mangga (sekarang sekitar Jalan Jayakarta), tempat pelacuran kelas bawah di Batavia. Penghuninya masih sama, perempuan yang dibawa dari Macao.

Berbeda dengan di Macao Po yang lebih terawat kesehatannya, di Gang Mangga dituding menjadi penyebab menjamurnya penyakit sipilis di kalangan lelaki yang ‘suka jajan’. Menurut Lamijo, dalam artikel berjudul Prostitusi di Jakarta Dalam Tiga Kekuasaan, 1930–1959: Sejarah dan Perkembangannya, kala itu orang menyebut sakit sipilis dengan sebutan ‘Sakit Mangga’.

Lokalisasi di Gang Mangga itu pun kemudian tersaingi rumah-rumah bordil (bordeel) yang didirikan orang Tiongkok. Kompleks pelacuran semacam itu kemudian dikenal dengan nama Soehian. Lokasinya tersebar di seantero Jakarta. Alwi Shahab antara lain menyebut ada di Kaligot, Sawah Besar, Gang Heuber (Petojo) yang ditutup pada 1950-an oleh Walikota R. Sudiro. Daerah itu kemudian dinamai Gang Sadar. Pada 1950-an hingga 1960an, sebelum Planet Senen mulai ramai dengan pelacuran, tempat buang syahwat terbesar berada di Jalan Halimun.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *