Ini Keterangan Agus Sumule Dalam Sidang Kayu Merbau Asal Papua

  • Whatsapp

SURABAYA – beritalima.com, Dr. Agus Sumule, dosen Fakultas Pertanian Universitas Papua di Manokwari memberikan kritikan keras terhadap Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang terus menerus menerbitkan Hak Penguasaan Hutan (HPH) di lingkungan masyarakat adat Otonomi Khusus (Otsus) Papua.

Kritik itu dia lontarkan, saat menjadi saksi ahli pada sidang kasus dugaan pembalakan liar kayu Merbau asal Papua dengan terdakwa Dedi Tendean selaku Direktur CV Edom Ariha Jaya, Daniel Gerden selaku direktur PT Mansinam Global dan Toni Sahetapy selaku Direktur PT PT Rajawali Papua Foresta.

Dalam keterangannya, Agus menegaskan bahwa HPH yang dipegang masyarakat adat sangat jauh bila dibanding HPH yang dipegang investor. Sebab hak masyarakat adat atas sumber daya alam belum memperoleh pengakuan dan penghargaan yang layak. Penyebabnya adalah anggapan banyak pihak bahwa sumber daya alam adalah milik negara dan oleh karena itu pemerintah berhak mengatur pemanfaatannya.

“Itulah kekurangan Pemda dan Pemerintah Pusat dalam membina masyarakat adat. LHK tahu apa tidak adanya undang-undang Otsus Papua (UU 21/2001 yang diubah dengan UU 35/2008). Harusnya mereka tahu itu. Apalagi dalam pasal 18b ayat 1 UUD 1945, negara mengakui adanya kawasan atau daerah khusus. Jadi kalau mereka (LHK) sibuk dengan aturan yang sifatnya berlaku bagi semua tapi melupakan aturan yang khusus ini,” ujarnya di ruang sidang Garuda 2 Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Selasa (27/8/2019).

Saat ditanya oleh salah satu kuasa hukum terdakwa apakah hasil hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat adat boleh dijual ke luar Papua,? Agus menjawab dalam pasal 38 undang-undang Otsus dijelaskan bahwa perekonomian propinsi Papua adalah merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global,

“Artinya hasil hutan itu tidak mungkin tertahan di Papua saja, tetapi harus diekspor lebih dulu supaya dapat mendatangkan manfaat bagi orang asli Papua. Kalau hanya berhenti disitu saja, lantas siapa yang beli,” tegas Agus.

Agus Sumule juga dimintai Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menjelaskan kewajiban masyarakat adat menjaga kelestarian hutan.

Dijelaskan Agus, sangatlah tidak masuk diakal jika masyarakat yang hidup disitu seenaknya menebang atau melakukan sesuatu yang berdampak mengacaukan kehidupan mereka sendiri,

“Mereka pasti bijak, sebab hutan adalah sumber kehidupan bagi mereka. Masyarakat adat punya kearifan lokal, kalau dia merusak hutan berati dia merusak hidupnya sendiri,” bebernya.

Dalam kasus ini, terdakwa Dedi Tendean, Daniel Gerden dan Toni Sahetapy didakwa dengan pasal yang berbeda yakni tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan sebagaimana dalam dakwaan pertama yakni melanggar Pasal 94 ayat (1) huruf d jo. Pasal 19 huruf F UU nomor 18 tahun 2013 dan Pasal 86 p ayat (1) huruf a jo. Pasal 12 huruf i UU nomor 18 tahun 2013, ketiga Pasal 83 ayat(1) huruf b jo. Pasal 12 huruf e uu nomor 18 tahun 2013.

Untuk diketahui, Kasus ini diungkap oleh Gakum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) beserta Tim Satuan Tugas Sumber Daya Alam (SDA) Kejaksaan Agung pada Januari 2019 lalu, yang menemukan adanya pengiriman ratusan kontainer kayu Merbau tanpa dilengkapi dokumen dari Papua ke Surabaya melalui Pelabuhan Teluk Lamong.

Ratusan kontainer kayu merbau tersebut dibeli para terdakwa dari hutan di Jayapura dan dibeli dari masyarakat Kabupaten Keerom, Papua.

Selanjutnya, Kayu yang sudah dipotong-potong itu kemudian dijual para terdakwa di antaranya di Makassar, Sulawesi Selatan, dan Surabaya. (Han)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *