beritalima. com | Permasalahan keamanan terus berkembang semakin kompleks dan tentu membutuhkan perhatian bersama, terutama aparat keamanan yang mana dalam menjalankan tugasnya tidaklah mudah. Oleh karena itu partisipasi masyarakat untuk turut serta menjaga keamanan semakin penting. Ruang penglihatan dan pendengaran polisi tentu terbatas, dan partisipasi masyarakat menjadi penting untuk menambah kemampuan diteksi dini dan cegah dini. Termasuk kemampuan intelijen keamanan dalam melakukan patroli tertutup, penggalangan, cipta kondisi dan lain – lain tidak terbatas hanya di ruang nyata saja, melainkan juga harus mampu beroperasi di ruang maya. Meskipun wilayah operasinya di ruang maya tetapi dampaknya sangat dirasakan di alam nyata. Lihat saja berbagai persoalan yang timbul akibat peretasan Malware, Botnet, Darknet, dan yang lainnya.
Pemerhati Keamanan Siber yang juga Komisioner Kompolnas RI Dede Farhan Aulawi menyampaikan pandangannya tentang hal tersebut ketika ditemui di kantornya, Senin ( 11/11). Dede mengatakan jika sebelumnya terminologi kejahatan banyak dibahas di ruang nyata, saat ini mulai merambah ke dunia maya. Lahirlah apa yang disebut dengan kejahatan siber (cyber crime). Para pelakunya menggunakan teknologi baru untuk melakukan serangan dunia maya terhadap pemerintah, bisnis atau individu. Kejahatan-kejahatan ini tidak mengenal batas, baik fisik maupun virtual, menyebabkan kerusakan serius dan menimbulkan ancaman nyata bagi para korban di seluruh dunia. Oleh karena itu, karena basis operasinya di dunia siber maka keamanan siber juga akan mencakup operasi – operasi intelijen siber. Siklus intelijen, mulai dari pengumpulan informasi, penyaringan, dan analisa menjadi sangat penting untuk membaca arah angin aksi dan kontra aksi sebuah operasi.
Dede juga menambahkan bahwa kejahatan siber adalah “Kejahatan dunia maya murni” yang mengacu pada kejahatan terhadap komputer dan sistem informasi, di mana tujuannya adalah untuk mendapatkan akses tidak sah ke suatu perangkat atau menolak akses ke pengguna yang sah. Dengan demikian, sebagian bentuk-bentuk kejahatan tradisional juga telah berevolusi ketika organisasi kriminal beralih ke Internet untuk memfasilitasi kegiatan mereka dan memaksimalkan keuntungan mereka dalam waktu singkat. Kejahatan ‘cyber-enabled’ ini belum tentu baru – seperti pencurian, penipuan, perjudian ilegal, penjualan obat-obatan palsu – tetapi mereka telah mengambil dimensi modus operansi yang relatif baru.
“ Namun demikian maraknya kejahatan siber tidak bisa diartikan kejahatan konvensional akan hilang karena kejahatan konvensional masih akan tetap ada. Tentu ditambah dengan kejahatan siber dengan modus – modus baru. Atau keduanya berevolusi menghasilkan mutan – mutan baru hasil karya rekayasa kejahatan modern “, ungkap Dede.
Cyber crime mengalami kemajuan dengan kecepatan yang sangat cepat, dengan tren baru yang terus muncul. Oleh karena itu polisi harus mengimbangi teknologi baru untuk memahami probabilitas maupun prognosa format kejahatan yang akan datang. Kemampuan dalam membaca trend teknologi dan dampaknya terhadap perubahan model kejahatan menjadi sangat penting agar bisa diantisipasi sedini mungkin. Dengan demikian maka konsep “Risk based Thingking” akan banyak digunakan untuk membaca model dan pola kejahatan di masa mendatang. Di sinilah intelijen siber akan banyak memainkan peran untuk menjaga keamanan siber yang relatif tidak mengenal teritori. Revolusi industri 4.0 tidak hanya memberi ruang harapan bagi kesejahteraan umat manusia, tetapi juga membuka ruang – ruang kejahatan baru. Pungkas Dede mengakhiri pendapatnya.