Oleh:
Rudi S Kamri
Juru bicara Mahkamah Agung (MA) Andi Samsan Nganro, Senin (9/3/2020), mengatakan Majelis Hakim MA yang dipimpin Prof. Dr. Supandi, SH., MH pada 27 Februari 2020 telah mengabulkan judicial review Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam putusannya, MA membatalkan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan per 1 Januari 2020.
Kasus bermula saat Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) keberatan dengan kenaikan iuran itu. Mereka kemudian menggugat ke MA melalui judicial review dan meminta kenaikan itu dibatalkan.
Pembatalan kenaikan iuran ini di satu sisi merupakan kabar baik buat masyarakat yang pasti akan terbebani dengan kenaikan iuran BPJS yang mencapai 100%. Tapi di sisi merupakan pukulan telak bagi BPJS dan Pemerintah yang harus kembali menanggung beban defisit anggaran jaminan kesehatan masyarakat.
Lepas dari silang sengkarut dan polemik kenaikan iuran BPJS yang kontroversial, saya menyoroti dari sisi betapa lemahnya para pembantu Presiden dalam bertindak mengamankan Keputusan Presiden. Para Menteri terkait terbukti gagal dan tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan lobby politik tingkat tinggi kepada MA untuk memberi pengertian betapa Kepres kenaikan iuran BPJS tersebut sangat penting untuk memperkuat kondisi fiskal negara yang akan semakin berdarah-darah apabila diharuskan terus menerus menanggung beban defisit anggaran BPJS.
Presiden sebagai pihak eksekutif memang tidak punya hak untuk mengintervensi ke bidang yudikatif. Namun kalau kita melihat kepentingan negara secara luas dan komprehensif serta tanpa bermaksud mencampuri keputusan pengadilan, setidaknya sebagai sesama pejabat negara, para pembantu Presiden bisa memberikan penjelasan detail ke pihak Yudikatif (MA) tentang latar belakang dan pertimbangan diterbitkan sebuah Kepres.
Lemahnya para pembantu Presiden tersebut juga menunjukkan tidak adanya “sense of urgency” dari para pembantu Presiden untuk menjaga marwah dan kewibawaan Presiden. Sehingga keputusan strategis Presiden Jokowi tidak mampu diamankan dari keberatan dan gugatan masyarakat.
Hal ini menjadi preseden buruk bahwa ke depan keputusan Presiden tidak terjamin untuk bisa dilaksanakan dengan mulus. Kemungkinan memang dasar dari keputusan tersebut lemah atau memang para pembantu Presiden tidak mampu menyusun Kepres yang benar dan tahan terhadap gugatan hukum dari pihak manapun.
Dengan kasus ini mudah-mudahan bisa menjadi bahan evaluasi serius dari pihak Istana dan kabinet Indonesia Maju untuk memperbaiki kinerjanya. Di sisi lain Presiden diharapkan mempunyai Tim Eksekutor yang tangguh yang bisa membentengi pelaksanaan keputusan strategis dari Presiden.
So, sekarang bola kepusingan terpaksa harus berpindah ke Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk bisa mengakali rentannya keuangan negara dengan beban tambahan menambal defisit anggaran dari BPJS Kesehatan.
Di sisi lain ini adalah momentum yang tepat baik Pemerintah untuk menekan Direksi dan Komisaris BPJS Kesehatan agar memutar otak lebih keras untuk mengatasi mismanajemen dalam pengelolaan jaminan sosial bidang kesehatan. Harus ada intervensi untuk melakukan audit forensik secara total tentang pola dan skema pembiayaan yang selama ini dilakukan oleh BPJS Kesehatan.
Pemerintah harus memaksa manajemen BPJS Kesehatan agar mau membuka pintu selebar-lebarnya bagi para pakar di bidang manajemen jaminan sosial bidang kesehatan untuk menimba masukan agar ada pembenahan secara menyeluruh yang bersifat struktural. Kalau tidak dilakukan saya yakin keuangan BPJS akan tetap berdarah berkelanjutan.
Dengan pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini di satu sisi saya gembira luar biasa karena rakyat terbebas dari beban yang semakin berat, tapi di sisi lain saya prihatin ternyata pembantu Presiden tidak mampu melindungi kewibawaan dan kehormatan Presiden.
Betapa berat beban Presiden Jokowi. Obatnya hanya satu: Resuffle a.s.a.p. !!!
Salam SATU Indonesia,
09032020