Catatan: Roso Daras
Doni Monardo tentara. Jakob Oetama jurnalis. Pertautan persahabatan keduanya, ditandai sebuah bibit pohon ulin, yang diserahkan Doni kepada Jakob pada tahun 2013. “Pohon ulin adalah salah satu pohon endemi khas Indonesia. Dikenal sebagai ironwood (eusideroxylon zwageri),” ujar Doni Monardo, mengenang pertemuan pertama kalinya dengan almarhum.
Berbicara di ruang kerjanya, Doni Monardo tak bisa menyembunyikan rasa berdukanya mendengar kabar duka itu. Segala doa terbaik dipanjatkannya untuk almarhum. Melalui pohon ulin pula, Doni menerawang kenangan manis, yang membuahkan kesan mendalam bahwa, “Pak Jakob ternyata sangat senang dengan penghijauan. Kami berdikusi banyak tentang alam dan pepohonan,” ungkap Doni.
Dikisahkan, pemberian bibit pohon ulin itu dilakukan sekitar Juni 2013, dalam suasana ulang tahun Kompas ke 48. Sebagai prajurit yang sejak belia berkutat dengan pohon (dan penghijauan), Doni sadar, tidak mudah membibit biji ulin menjadi bertunas.
“Bibit itu saya dapat dari Kolonel Ganip Warsito. Sekarang Letjen, dan menjabat Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III. Waktu saya serahkan, tingginya sekitar 60 – 70 centimeter. Dan pak Jakob sendiri yang menanamnya di komplek Kompas Gramedia, Palmerah, Jakarta Selatan,” papar Doni.
Doni mengenang, saat berbincang santai di ruang kerja Jakob Oetama, lantai 6 gedung Kompas Gramedia, topik ulin menjadi bagian dari pembicaraan keduanya. Doni ingat, ketika pertemuan, Jakob didampingi dua jurnalis senior Kompas: Rikard Bagun dan J. Osdar. “Saya waktu itu Dan Paspampres,” ujar Doni yang menjabat Dan Paspampres tahun 2012 – 2014 itu.
Kepada almarhum, Doni menceritakan betapa susah melakukan pembibitan pohon ulin. Biji buah ulin, panjangnya sekitar 20 centimeter dengan diameter 7 – 9 centimeter. Lazimnya, putik tunas akan menyembul dari pangkal biji. Tetapi, tidak semua biji kemudian bertunas, karena kemudian digerogoti serangga.
Serangga masuk lewat pangkal biji, dan memakan habis bagian dalam biji ulin. Yang terjadi kemudian, bentuk biji ulin kelihatan utuh, tetapi dalamnya sudah kosong melompong dimakan serangga.
“Tapi kemudian ada teknik jitu. Biji ulin direbus tiga-puluh menit, lalu diamkan. Dengan cara itu, ternyata serangga tidak mau makan, dan putik tunas akan muncul sekitar enam bulan kemudian,” kata Doni, menirukan apa yang pernah ia ucapkan kepada Jakob Oetama yang menyimak dengan sangat tekun.
Topik lain yang terbeber pada pertemuan keduanya, adalah perhatian antara satu kepada yang lain, karena impresi yang mendalam. Kesan Doni kepada Jakob adalah tulisan-tulisan tajuk rencana yang bernas, arif dan humanis. Tagline “suara hati nurani rakyat” dibawakan Jakob Oetama dengan sangat pas, sehingga Kompas menjadi media cetak nomor satu di Indonesia.
Di sisi lain, Jakob Oetama diam-diam juga mencermati kiprah Doni Monardo. Awalnya, bukan atas prestasi militer yang dicetak lulusan AMN tahun 1985 itu, tetapi justru pada kepeduliannya terhadap lingkungan.
Tersebutlah wartawan Kompas, J. Osdar yang beberapa kali menurunkan tulisan khusus tentang Doni Monardo. Bukan dalam kapasitas sebagai prajurit, tetapi justru kiprahnya sebagai prajurit di bidang lingkungan hidup. Misalnya, gerakan Ciliwung Bersih. “Belakangan saya baru tahu, pak Jakob memperhatikan saya sejak Osdar menulis saya tentang pohon trembesi,” kata Doni sambil tersenyum.
Jadilah Doni dan Jakob merajut persahabatan bukan atas nama jabatan. Bukan atas nama owner Kompas dan perwira tinggi TNI, melainkan pada kecintaan yang sama terhadap lingkungan hidup. Concern yang sama terhadap tekad mewariskan bumi Indonesia yang lestari.
“Semoga almarhum Bapak Jakob Oetama mendapat tempat yang layak di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa,” tutur Doni lirih. Wajahnya menunduk, menahan duka yang sangat dalam.
Kepada Koorspri Kolonel Budi Irawan dan Tenaga Ahli BNPB Egy Massadiah, Doni meminta informasi ihwal lokasi jenazah disemayamkan. Kamis pagi 10 September Doni meluncur ke Gedung Gramedia Kompas dan menyempatkan berdoa di sisi jenazah Jakob. Demi jenazah senior yang sangat dihormatinya. Demi pohon ulin, simbol persahabatan keduanya.
*Sejarah Kompas*
Sosok Jakob Oetama adalah jurnalis senior level “empu”. Dalam pencapaiannya, toh tetap humanis, humble, dan inspiratif. Berbicara dengannya, selalu saja ada tekanan berat, yang membuat siapa pun, harus membuka mata batin, mata hati, dan mata nalar. Tanpa melakukan itu, kita bisa melewatkan sebuah wejangan maha penting dari seorang “suhu”.
Hanya dengan usaha keras menyamakan “frekuensi” dengan seorang Jakob Oetama, kita bisa menangkap semua mutiara hikmah yang mengalir dari hati yang bening. Sekalipun mengaku “mulai pikun”, faktanya, memori pria kelahiran Borobudur, Magelang (Jawa Tengah), 27 September 1931 itu masih bagus.
Jakob masih lancar bertutur tentang hakikat jurnalis sebagai sebuah profesi. Ia masih runtut bertutur tentang keasyikan menjadi wartawan, karena setiap hari melakukan perang. Perang batin seorang wartawan, bisa jadi terjadi setiap hari. Akan tetapi, melalui peperangan batin setiap hari itulah, profesi wartawan menjadi begitu menantang. Dalam urusan perang yang dimaksud, Jakob Oetama adalah seorang ksatria wijaya, yang kini bahkan sudah menjelma menjadi pertapa sakti.
Bayang-bayang kelahiran Kompas suratkabar paling bersinar di Indonesia saat ini, ternyata memiliki keterkaitan erat dengan sang proklamator.
Adalah dua nama: Jakob Oetama dan Petrus Kanisius (PK) Ojong, dua dedengkot pendiri Harian Kompas yang dikenal masyarakat. Dan tahukah Anda, di antara dua nama itu, Bung Karno konon lebih suka kepada Jakob Oetama. Karenanya, saat Harian Kompas terbit, Jakob-lah yang memegang kemudi redaksi. Sementara, PK Ojong berkutat di bagian tata usaha.
Sambung kisah antara Kompas dan Bung Karno, sejatinya memang cukup erat. Sebab, nama “Kompas” itu sendiri adalah nama pemberian Bung Karno. Tentu saja, kisahnya tidak sesederhana itu.
Bermula dari suatu kurun bernama tahun 1964, ketika Bung Karno meminta agar Partai Katolik membuat suratkabar. Perintah Bung Karno, langsung ditanggapi positif. Sejumlah tokoh Katolik seperti Frans Xaverius Seda, PK Ojong, Jakob Oetama, R.G. Doeriat, Policarpus Swantoro, dan R. Soekarsono mengadakan pertemuan dengan Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI), Partai Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pemuda Katolik dan Perempuan Katolik. Pertemuan ini menyepakati pembantukan Yayasan Bentara Rakyat.
Yayasan itu diketuai Ignatius Joseph Kasimo (Ketua Partai Katolik), wakil ketua Frans Seda (Menteri Perkebunan Kabinet Sukarno), penulis I, F.C. Palaunsuka, penulis II, Jakob Oetama, dan bendahara PK Ojong. Dari yayasan inilah kemudian lahir harian Kompas.
Dalam sebuah keterangan, Frans Seda pernah mengatakan ihwal pesan Jenderal Ahmad Yani, agar harian Kompas dapat menandingi wacana yang dikembangkan PKI. Masih menurut Frans Seda, PKI tahu ihwal Kompas yang berpotensi menandingi PKI, maka dilakukanlah usaha penghadangan dan penggagalan penerbitan koran ini. Namun, karena Bung Karno sudah memberi izin, maka praktis upaya PKI sia-sia.
Setelah ada izin Bung Karno, yayasan Bentara Rakyat tidak segera bisa menerbitkan koran dimaksud. Sebab, harus pula mengantongi izin dari Panglima Militer Jakarta, yang waktu itu dijabat Letnan Kolonel Dachja. Sang Letnan Kolonel memberi syarat, izin keluar kalau Yayasan Bentara Rakyat mampu mendapatkan sedikitnya 5.000 tanda tangan warga sebagai pelanggan. Frans Seda mengutus para wartawan pergi ke NTT, sehingga syarat itu dengan mudah bisa dipenuhi.
Setelah semua siap, kembali Frans Seda melapor kepada Bung Karno. Kedudukannya sebagai menteri ketika itu, memang memungkinkan setiap saat bisa menjumpai Bung Karno. Saat bertemu, Frans Seda melaporkan kesiapan Yayasan Bentara Rakyat menerbitkan koran Katolik, seperti diminta Bung Karno.
Nah, tahukah Anda, nama koran yang disodorkan kepada Bung Karno ketika itu bukan Kompas, melainkan koran Bentara Rakyat. Setelah mengernyitkan dahi sejenak, Bung Karno lantas mengusulkan agar nama itu diganti menjadi “Kompas” yang berarti penunjuk arah.
“Sabda pandita ratu”, pepatah Jawa. Bahwa titah raja adalah perintah. Bagaikan sebuah titah, maka sabda Bung Karno pun langsung diiyakan Frans Seda. Usul nama dari Bung Karno kemudian dirapatkan di Yayasan Bentara Rakyat. Dan, tanpa perdebatan sengit, usul Bung Karno tadi langsung diterima, sehingga nama koran Bentara Rakyat dikubur, dan dimunculkanlah nama “Kompas” dengan tambahan tagline “Amanat Hati Nurani Rakyat”.
Koran ini terbit pertama kali pada 28 Juni 1965. Itu artinya, tiga bulan menjelang terjadinya ontran-ontran G-30-S. Pasca tragedi yang merenggut tujuh perwira terbaik TNI-Angkatan Darat, pamor Bung Karno redup atau diredupkan. Namun salah satu “warisan” nama, Harian Kompas, justru makin bersinar. Sinarnya, menerangi jagat media Nusantara hingga hari ini.
Jakob Oetama wafat kemarin, Rabu (9/9/2020) di RS Mitra Keluarga, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Tidak hanya insan pers nasional, tapi bangsa ini turut berduka atas kepergian tokoh media yang terkenal humanis itu.
Selamat jalan, pak Jakob. *Penulis adalah wartawan senior*