JAKARTA, beritalima.com – Puluhan massa yang tergabung dalam LSM Satgas Anti Diskriminasi Hukum mendatangi Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung), Jumat (12/10/2018).
Mereka menuntut agar Jaksa Agung HM Prasetyo mencabut dan membatalkan kembali keputusan deponeering yang dikeluarkan tanggal 3 Maret 2016, dalam perkara pidana atas nama tersangka Bambang Widjojanto (BW).
Demonstran juga meminta agar Kejaksaan melimpahkan perkaranya ke pengadilan untuk diadili sesuai ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, sebagai bentuk penegakan prinsip Equality Before The Law.
Kepada wartawan, Koordinator LSM Satgas Anti Diskriminasi Hukum, Budi mengatakan keputusan deponeering diduga tidak melalui prosedur yang benar, sebagaimana yang diwajibkan oleh undang-undang harus mengacu pada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 29/PUU-XIV/2016, pada intinya menyatakan putusan deponeering wajib melalui proses konsultasi dan membutuhkan pertimbangan dari Ketua DPR, Ketua Mahkamah Agung RI, dan Kapolri.
“Keputusan deponeering Jaksa Agung RI tanpa melalui konsultasi dan tidak memilki pertimbangan dari Ketua DPR dari segi uraian argumen telah terpenuhinya unsur keterwakilan kepentingan umum, dari Ketua MA segi yuridisnya, dan dari Kapolri pada aspek mekanisme penyidikannya,” kata dia.
Dia menjelaskan, BW dalam kedudukannya sebagai kuasa hukum Ujang Iskandar, calon bupati Kotawaringin Barat pada tanggal 23 Januari 2015 telah ditetapkan menjadi tersangka oleh Bareskrim Polri, dalam perkara dugaan menyuruh saksi Ratna Mutiara memberi keterangan palsu, pada sidang Mahkamah Konstitusi tahun 2010, terkait sengketa Pemilihan Kepala Daerah.
Pada 25 Mei 2015, berkas perkara atas nama Bambang Wdjojanto dinyatakan lengkap (P21) oleh Jaksa Penuntut Umum dan telah dilakukan pelimpahan Tahap ke-II pada 18 September 2015 untuk siap disidangkan.
Akan tetapi, lanjut Budi, atas desakan dan rekayasa yang dibangun oleh kawan-kawan tersangka yang tergabung dalam beberapa NGO, Jaksa Agung Republik Indonesia dengan dalih menggunakan hak prerogatif yang diberikan pasal 35 huruf C Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung RI, memutuskan menerbitkan penetapan deponeering atas perkara tersebut.
“Apa yang diberikan Ketua MA, Ketua DPR dan Kapolri pada waktu itu bukanlah sebuah pertimbangan sebagaimana yang dimaksud keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 29/PUU-XIV/2016. Namun hanya sekadar statement biasa yang pada pokoknya menyerahkan sepenuhnya kelanjutan perkara tersangka BW kepada Jaksa Agung RI,” ujar dia.
Adapun faktor yang mendukung pertimbangan tuntutan pencabutan deponeering, kata Budi, karena BW tidak memiliki kualifikasi secara yuridis dan moral untuk mendapatkan keistimewaan deponeering, setelah adanya temuan dugaan melakukan manipulasi pidana pajak dan TPPU selama menjalankan profesi sebagai pengacara “Senior Partner di Widjojanto, Sonhaji, & Assciates” yang merugikan Negara mencapai puluhan milyar rupiah.
Berdasarkan hasil investigasi LSM Satgas Anti Diskriminasi Hukum, sebagai pengacara dan pemilik law firm Widjojanto, Sonhaji, & Assciates, Bambang Widjojanto pada 2009-2010 diperkirakan berhasil meraih pendapatan sebesar Rp 300 miliar, dengan asumi tanpa pandang bulu, tarif jasa yang harus dibayar kliennya minimal rata-rata sebesar Rp 10 miliar, setelah tanda tangan surat kuasa.
Sebagai contoh, meskipun menjadi seorang korban mafia hukum seperti Jonny Abbas sekalipun, tetap wajib membayar Rp. 10 milyar kepada Bambang, yang hanya mendampingi dalam persidangan di PN Jakarta Pusat, pada Februari 2011. Bahkan oleh majelis hakim PN Jakarta Pusat, Jonny Abbas dihukum 1,8 tahun penjara.
Lalu, tercatat berturut-turut Bambang Widjojanto pernah menjadi pengacara Bupati Morotai Rusli Sibua, tersangka dugaan suap 2,9 miliar terhadap mantan Ketua MK Akil Mochtar, Rusli Zaenal, mantan Gubernur Riau, Bupati Tapanuli Tengah, Bupati Kotawaringin Barat, Ujang Iskandar, dan lembaga LPS yang melahirkan bailout Bank Century.
Meskipun memiliki kekayaan ditaksir minimal sekitar Rp. 150 milyar, BW menjelang mengikuti pemilihan Ketua KPK melaporkan dan memberikan keterangan hanya memiliki harta sebesar Rp. 4,8 M, berdasarkan data LHKPN tahun 2012.
Menurut Laporan ini dikualifisir sebagai Keterangan palsu sekaligus terindikasi Bambang Widjojanto melakukan dugaan pidana manipulasi pajak dan TPPU selama menjadi Senior Partner di Widjojanto, Sonhaji, & Associates, yang merugikan keuangan Negara puluhan miliar rupiah.
“Ia seorang hipokrit, berpura-pura hidup sederhana, dengan bergelantungan di kereta api Depok-Jakarta saban hari. Naik ojek mengajar di kampus Universitas Trisakti,” tegas dia.
Karena itu, Budi meminta agar Jaksa Agung RI mencabut dan membatalkan kembali keputusan deponeering perkara atas nama tersangka Bambang Widjojanto. “Sekaligus mengusut atas terjadinya dugaan pidana manipulasi pajak dan TPPU yang terjadi ditubuh Widjojanto, Sonhaji & Associates,” tandas dia.
Dikonfirmasi terpisah, Jaksa Agung HM Prasetyo soal permintaan pencabutan deponering BW, mengatakan pencabutan deponering harus ada pertimbangan untuk kepentingan umum. Kepentingan umum itu harus dilakukan pengkajian terlebih dahulu.
“Terus maunya apa, oh dibuka kembali, kita harusnya lihat dulu dong, pada saat kita putusan deponering alasannya adalah demi kepentingan umum. Nah sekarang kita lihat dulu ada ga kepentingan umum yang mendasari untuk dibuka kembali,” kata dia.
Jadi, kata Prasetyo, jika deponering itu dibuka kembali maka apakah ada kepentingan umum yang perlu dibuka kembali deponering tersebut. “Dulu kepntingan umumnya demi tuntutan masyarakat dalam pemberantasan korupsi itu kepntingan bersama, kita kan engga mau korupsi merajalela,” jelas dia.
Namun, soal apakah BW bisa dipanggil untuk mengetahui ada tidaknya kepentingan umum BW, mantan Jaksa Agung Muda Pidana Umum itu menjawab diplomatis. “Bisa iya bisa tidak,” tukas dia. (rr)